Mukti Jelajah Indonesia Jalan Kaki dari Sabang sampai Merauke Mengajak Rakyat Indonesia Jangan Terpecah Belah

Diperjalanan pulang tadi tidak sengaja saya melihat seorang pejalan kaki dengan tulisan JELAJAH INDONESIA, rasa penasaran pun muncul, akhirnya saya berniat untuk mendekatinya dan menyapanya.
Beberapa bulan yang lalu saya bertemu dengan seseorang yang sama juga berjalan kaki keliling indonesia, Namanya Pak Watimin Warga Cilacap yang berjalan kaki keliling indonesia, Kali ini saya bertemu dengan Pak Mukti yang berasal dari Sabang, Provinsi Aceh.
Dia memiliki target perjalanan keliling Indonesia dari sabang sampai merauke itu bisa selesai selama dua tahun. Dia pun memulai perjalanan tanpa bekal dan uang sepeser pun. Yang dibawa Mukti hanya dua lembar pakaian, jaket, celana, dan sajadah. Itu dia letakkan di dalam tas.



Mukti menegaskan, yang dia lakukan murni panggilan jiwa. Sebab, jarang orang yang mau membawa Pancasila dan bendera Indonesia ke mana-mana. Karena itu dia ingin ada gerakan-gerakan untuk anak muda supaya mencintai NKRI. Siapa tahu ini bisa menginspirasi anak-anak negeri lainnya.
Hujan panas pun tidak menghentikan langkah kakinya, hari ini setahun lebih perjalanan dia menyusuri berbagai tempat di indonesia yang ia mulai dari Tugu Kilometer Nol, Desa Iboih, Kecamatan Sukakarya, Kota Sabang, Aceh, 12 September 2017.

Setelah  menjelajah pulau Kalimantan, penjelajah ini berencana untuk melanjutkan aksi nya ke pulau sulawesi, dan papua, selanjutnya kembali pulang ke Aceh melalui Pulau Bali menuju Pulau Batam. Tidak hanya puas mengelilingi Indonesia, Mukti juga berencana untuk mengelilingi Benua Asia dengan aksi serupa.
Karena mempercayai kekuasaan Sang Pencipta, Mukti hakulyakin perjalanannya lancar dan selamat. Sebenarnya, kata dia, ia juga membawa kamera dan alat GPS tapi barang berharga itu dirampok 6 pria saat ia berada di Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung, sekitar 3 bulan lalu.

Kamera dan GPS milik Mukti merupakan hadiah yang diberikan Presiden Republik Indonesia kelima, Megawati Soekarnoputri, saat mengunjungi Sabang untuk meninjau perbaikan Tugu Kilometer Nol pada 2006.

Pria yang bekerja sebagai porter di Sabang itu tidak cemas dan takut kehabisan logistik. Ia bisa tidur di mana saja dan malah suka tidur di alam terbuka. Sepanjang perjalanan, Mukti menjumpai banyak orang baik yang membantu dan memberinya rezeki berupa makanan-minuman dan sesekali uang. Mukti pantang meminta-minta, tapi ia juga pantang menolak pemberian orang.

Segala penderitaan yang ia alami selama perjalanan belumlah seberapa dibanding duka teramat dalam yang ditanggungnya: istri dan tiga anaknya meninggal saat Aceh dilantak gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004.

Semoga apa yang dilakukan menjadikan inspirasi bagi anak muda lainnya dan bisa selesai dengan waktu yang ditentukan.
Salut dan Luar Biasa yang bisa saya berikan untuk Pak Mukti hingga dapat bertahan dan tetap sehat sampai hari ini. 



Comments