Vihara dibakar, Pendirinya ucapkan Terima Kasih pada Warga Muslim yang Membakar

Sebanyak 6 vihara dan klenteng dibakar massa
Peristiwa yang sangat tragis telah terjadi di Kota Tanjung Balai, Sumatera Utara beberapa waktu lalu.

Adapun faktor kerusuhan yang terjadi itu adalah karena salah satu warga yang keturunan Tionghoa meminta untuk bisa mengecilkan volume dari mikrofon masjid.

Ia menganggap bahwa dulu suaranya tak terlalu keras seperti sekarang ini. Namun, mungkin karena permintaan dari wanita etnis Cina tersebut dinilai terlalu kasar, perbuatannya itu tak diterima oleh para umat muslim di sana.

Pemilik Klenteng

para warga muslim pun langsung marah dan meluapkan emosinya tersebut dengan cara merusak serta membakar beberapa kelenteng di sekitar wilayah tersebut.

Adapun berikut adalah kutipan pernyatan dari pemilik tempat ibadah tersebut:

Sejak muda mama membangun satu vihara di tanjung balai namanya vihara Tri Ratna, dari tempat ibadah yang kecil menjadi tempat ibadah yang megah, tadi malam vihara itu di bakar hancur oleh umat agama lain,
Pagi ini saya telepon mama karena beliau pasti sangat sedih sekali,
Dan kaget akan jawaban nya.
“Kita harus berterima kasih kepada orang yang membakar, karena tempat itu sekarang menjadi ladang untuk menanam karma baik yang sangat luar biasa bagi siapapun yang akan membangun kembali vihara itu, sayang mama sudah terlalu tua…”
“Mama nga sedih? Nga marah?”
“sila pertama dari agama budha adalah metta : cinta kasih, masak kamu lupa? Orang yang membakar akan terima karma nya itu urusan alam ini, kalau kita marah, membenci apalagi membalas dengan membakar tempat ibadah orang lain ya jadinya kita yang membuat karma buruk… “
“iya mama .. Dan akupun lega”

Pemuka umat Buddha Kota Tanjungbalai, Leo Lopulisa menyatakan, pihaknya tidak membenci dan menyalahkan siapapun, terkait aksi yang berujung pembakaran dan perusakan beberapa vihara serta kelenteng, di daerah tersebut.

"Kami tidak membenci atau menyalahkan siapa pun dalam peristiwa ini. Biarlah polisi yang mengusut kasus itu," ujarnya.

Menurut dia, kejadian yang menimpa tempat ibadah umat Buddha dan Konghuchu pada 30 Juli dini hari bisa saja adalah aksi spontanitas dan tidak terencana.

"Ini hanya luka luar yang akan membuat kita makin dewasa, semakin kuat dalam menghadapi hidup beragama dan toleran dalam bermasyarakat."

Banyak pihak yang menunjukkan rasa peduli, prihatin dan solidaritas atas kejadian itu, menunjukkan bahwa semua menginginkan kehidupan yang rukun dan saling menghargai satu sama lain, katanya.

dari berbagai sumber

Comments