🌿 Awal Mula: Gagasan dari Sebuah Sarasehan
Semua bermula dari sebuah sarasehan tentang pelestarian lingkungan hidup yang diadakan dalam rangka peringatan 100 tahun Sendangsono, tempat ziarah terkenal bagi umat Katolik di Indonesia. Dalam acara itu, Romo Vincentius Kirjito Pr. menyampaikan sebuah ide yang sangat menyentuh hati umat Katolik di wilayah Stasi Kerug, Paroki Promasan, Sendangsono:
“Mengapa tidak menciptakan Sendangsono kedua yang lebih dekat, agar umat lebih mudah berdoa kepada Bunda Maria?”
Gagasan itu segera disambut antusias oleh umat, terutama oleh dua tokoh lokal: Bapak Purwosutirto dan Bapak Mateus Sutarjo, yang kemudian melakukan pencarian lokasi yang cocok di kawasan Pegunungan Menoreh—daerah yang dikenal angker namun sarat nilai spiritual.
🗿 Menyingkap Misteri Watu Tumpeng
Akhirnya, ditemukanlah Watu Tumpeng, sebuah batu besar yang selama ini dikenal keramat oleh warga sekitar. Tempat ini dipercaya sebagai “istana jin” dan bersemayamnya makhluk gaib bernama Nyi Rantam Sari, istri dari Ki Badut Brewok—penghuni gaib Sendangsono. Tempat ini juga dekat dengan gunung-gunung keramat seperti Gunung Gondo, Gunung Suralaya, Gunung Pungangan, dan Tegal Kepanasan. Dalam dunia pewayangan, tempat-tempat ini kerap disebut Kahyangan, tempat para dewa bertahta.
Menurut cerita turun-temurun, para dalang wayang yang ingin sukses konon harus bertapa di tempat-tempat ini. Bahkan sampai sekarang, banyak peziarah dari berbagai agama datang ke sini setiap 1 Suro untuk melakukan ritual penyucian benda-benda keramat.
✨ Transformasi Spiritual: Dari Mitos ke Devosi
Watu Tumpeng kemudian diubah menjadi tempat ziarah Katolik dengan tetap menghormati kearifan lokal. Tanah milik Bapak Dawud Suwidiyono, tokoh spiritual sekaligus pewaris budaya setempat, dihibahkan untuk tujuan ini. Menariknya, ketika Patung Bunda Maria hendak ditahtakan di batu tersebut, melalui komunikasi spiritual Bapak Dawud, diketahui bahwa Nyi Rantam Sari mengizinkan area itu digunakan untuk ziarah, tapi patung tidak boleh diletakkan di atas batu melainkan di sampingnya.
Akhirnya, pada 9 Januari 2005, tempat ini diresmikan sebagai tempat ziarah dalam Misa Konsebrasi oleh Romo Kirjito dan para imam lainnya, termasuk Romo Issri Purnomo, Romo Wiratno, dan Romo Agustinus Suyatno.
🏞️ Dari Tempat Ziarah Menuju Kampung Wisata Budaya
Dinas Pariwisata Kabupaten Magelang melihat potensi besar dari kawasan ini dan mengusulkan agar Dusun Kapuhan dijadikan Kampung Wisata dan Budaya. Faktanya, rumah Bapak Dawud sudah sejak lama menjadi tempat pertunjukan seni tradisional Jawa, seperti:
-
Wayang Kulit
-
Jathilan
-
Slawatan
-
Klonengan
-
Ketoprak
Sekarang, Seni Slawatan bahkan menjadi acara rutin setiap malam Jumat Kliwon setelah Misa di pelataran Gua Maria. Ini menjadi bukti nyata kerukunan antara tradisi Jawa dan devosi Katolik, yang saling memperkuat, bukan meniadakan.
✝️ Pengembangan Kawasan Wisata Rohani Katolik
Wilayah ini bukan hanya tempat bersejarah dan budaya, tapi juga kawasan yang sangat unik karena 95% penduduk Dusun Kapuhan beragama Katolik—satu-satunya di kawasan Menoreh yang seperti ini. Umat Stasi Kerug bersepakat untuk membangun berbagai fasilitas rohani seperti:
-
Gua Maria
-
Kapel
-
Aula
-
Sakristi
-
Jalan Salib
-
Sarana dan prasarana doa lainnya
Harapannya, Watu Tumpeng akan menjadi tempat pertumbuhan iman umat Katolik, tetapi juga terbuka bagi umat agama lain yang ingin merasakan kedamaian dan kekayaan spiritual kawasan ini.
🎒 Tips dan Info Menarik untuk Pengunjung Muda
Kalau kamu tertarik mengunjungi Watu Tumpeng, berikut beberapa tips menarik:
-
Waktu terbaik berkunjung: Pagi hari atau sore hari, untuk merasakan kesejukan dan keheningan.
-
Jangan lewatkan ritual Slawatan malam Jumat Kliwon, jika ingin merasakan suasana magis yang khas.
-
Bawa kamera! Spot-spot alami seperti Watu Tumpeng sangat instagramable, cocok buat konten religi dan traveling.
-
Ikuti jalan salib sebagai bentuk refleksi pribadi, apalagi menjelang masa Prapaskah atau Pekan Suci.
-
Hormati suasana dan budaya setempat. Tempat ini adalah gabungan warisan budaya dan spiritualitas, jadi mari bersikap bijak.
Watu Tumpeng kini bukan hanya sekadar batu besar di pegunungan. Ia telah menjadi saksi perubahan zaman—dari tempat pertapaan, istana gaib, hingga altar doa modern. Di sini, langit yang biru, pohon-pohon rindang, dan aroma dupa menyatu dalam harmoni yang hanya bisa dirasakan oleh hati yang hening.
Kalau kamu ingin merasakan ziarah yang berbeda—lebih alami, lebih lokal, dan lebih bermakna—Watu Tumpeng bisa jadi jawabannya.
0 komentar:
Posting Komentar