Mengucapkan selamat kepada orang lain pada perayaan keagamaan apakah dosa??

Mengucapkan selamat kepada seseorang yang berbeda keyakinan itu apakah dosa, darimana kita tau kalau itu dosa? padahal seperti itu malah menjadikan kerukunan antar umat menjadi semakin baik, tapi kalau pikirannya jelek terhadap orang lain apakah itu malah yang menjadikan dosa dan seperti itulah yang menambah banyak musuh di sekitar kita. Itulah yang muncul dalam benak saya ketika membaca tentang ulama aceh yang mengharamkan ucapan hari natal, ia mengatakan "agamamu adalah agamamu masing-masing" memang benar, tapi jg terlihat egois memang, kita bukan hidup di arab, kita hidup di negara kesatuan, kanan kiri kita bisa jadi juga orang yang berbeda-beda keyakinan, entah Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Budha, dan Konghuchu. Apakah mengucapkan selamat kepada salah satu keyakinan tersebut itu di larang oleh Tuhan sendiri atau hanya dari manusianya yang ingin menang sendiri, wong kita khan sama-sama manusia, sama-sama mencari kebaikan di dunia ini, kalau maunya mencari kejahatan ya beda lagi?

Ada teman saya muslim mengatakan " Ada salah satu tetanggaku yang mengatakan kalau memberi ucapan bahkan bersalaman dengan orang yang berbeda keyakinan itu adalah dosa. " 
Sayapun bertanya: " Lha kalau kamu sendiri gimana?
" Saya juga bingung, tiap hari saya bergaul dengan banyak teman yang beda agama tidak tiap hari bergaul dengan teman yang itu-itu saja. Kalau saya ga terlalu saya ambil pusing kalau dosa ya saya tanggung sendiri kenapa harus takut, selama nyaman dan tidak ada tujuan-tujuan jelek ya tidak masalah.
Ia juga tau bahwa apa yang selama ini saya percayai dalam kehidupan sehari-hari jg tidak pernah menjelekkan kepercayaan orang lain, semua khan mengajarkan kebaikan pada diri manusia. Jadi mempunyai pikiran jelek terhadap orang lain itu hanya berasal dari keegoisan diri sendiri untuk menunjukkan bahwa dialah yang paling berkuasa. 

Saya sangat setuju dengan apa yang telah dikatakan oleh mendiang Gus Dur yang selalu menegakkan toleransi antar umat beragama, sebenarnya orang seperti itulah yang patut di jadikan panutan untuk semakin mempererat tali persaudaraan antar umat beragama. 

Dibawah ini saya ambilkan dari situs merdeka.com tentang pendapat seorang Gus Dur tentang Perayaan Natal.

Merdeka.com - Sekarang sedang ribut berita soal ucapan selamat natal dari seorang muslim kepada umat Kristen yang diharamkan oleh ulama Aceh. Alasannya, perayaan Natal merupakan ritual keagamaan non-Muslim yang tidak dibenarkan bagi umat Islam untuk mengikutinya.
"Haram juga ucapan Natal, jangankan ikut mengucapkan, menyerupai saja dengan yang bukan budaya Islam sudah haram, apa lagi ikut terlibat dengan mengucapkannya," kata ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Banda Aceh, Abdul Karim Syeikh, Sabtu (14/12) saat dihubungi merdeka.com.
Sejak dulu sebenarnya masalah seperti ini sudah menjadi polemik di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk. Ada sebagian yang menilai haram, ada juga yang tidak. Nah, untuk memperkaya referensi, ada baiknya anda tahu bagaimana pendapat Gus Dur soal masalah ini.
Gus Dur pernah menulis artikel di Koran Suara Pembaruan pada 20 Desember 2003 berjudul: Harlah, Natal dan Maulid. Menurut Gus Dur , kata Natal yang menurut arti bahasa sama dengan kata harlah (hari kelahiran), hanya dipakai untuk Nabi Isa al-Masih belaka. Jadi ia mempunyai arti khusus, lain dari yang digunakan secara umum -seperti dalam bidang kedokteran ada istilah perawatan pre-natal yang berarti "perawatan sebelum kelahiran".
Dengan demikian, maksud istilah 'Natal' adalah saat Isa Al-Masih dilahirkan ke dunia oleh 'perawan suci' Maryam. Karena itulah ia memiliki arti tersendiri, yaitu saat kelahiran anak manusia bernama Yesus Kristus untuk menebus dosa manusia.
Sedangkan Maulid, Gus Dur menjelaskan, adalah saat kelahiran Nabi Muhammad Saw. Pertama kali dirayakan kaum Muslimin atas perintah Sultan Shalahuddin al-Ayyubi atau dalam dunia barat dikenal sebagai Saladin, dari Dinasti Mamalik yang berkebangsaan Kurdi. Tujuannya untuk mengobarkan semangat kaum Muslimin, agar menang dalam perang Salib (crusade).
Dia memerintahkan membuat peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad, enam abad setelah Rasulullah wafat. Peristiwa Maulid itu hingga kini masih dirayakan dalam berbagai bentuk, walaupun Dinasti Sa'ud melarangnya di Saudi Arabia. Karya-karya tertulis berbahasa Arab banyak ditulis dalam puisi dan prosa untuk menyambut kelahiran Nabi Muhammad itu.
Dengan demikian, Gus Dur melanjutkan, dua kata (Natal dan Maulid) mempunyai makna khusus, dan tidak bisa disamakan. Dalam bahasa teori Hukum Islam (fiqh) kata Maulid dan Natal adalah "kata yang lebih sempit maksudnya, dari apa yang diucapkan" (yuqlaqu al'am wa yuradu bihi al-khash). Penyebabnya adalah asal-usul istilah tersebut dalam sejarah perkembangan manusia yang beragam. Artinya jelas, Natal dipakai orang-orang Kristiani, sedangkan maulid dipakai orang-orang Islam.
Menurut Gus Dur , Natal dalam kitab suci Alquran disebut sebagai "yauma wulida" (hari kelahiran, yang secara historis oleh para ahli tafsir dijelaskan sebagai hari kelahiran Nabi Isa, seperti terkutip: "kedamaian atas orang yang dilahirkan (hari ini)" (salamun yauma wulid) yang dapat dipakaikan pada beliau atau kepada Nabi Daud. Sebaliknya, firman Allah dalam surat al-Maryam: "Kedamaian atas diriku pada hari kelahiranku" (al-salamu 'alaiyya yauma wulidtu), jelas-jelas menunjuk kepada ucapan Nabi Isa.
Bahwa kemudian Nabi Isa 'dijadikan' Anak Tuhan oleh umat Kristiani, adalah masalah lain lagi. Artinya, secara tidak langsung Natal memang diakui oleh kitab suci al-Qur'an, juga sebagai kata penunjuk hari kelahiran beliau, yang harus dihormati oleh umat Islam juga. Bahwa, hari kelahiran itu memang harus dirayakan dalam bentuk berbeda, atau dalam bentuk yang sama tetapi dengan maksud berbeda, adalah hal yang tidak perlu dipersoalkan.
"Jika penulis ( Gus Dur ) merayakan Natal adalah penghormatan untuk beliau (Isa) dalam pengertian yang penulis yakini, sebagai Nabi Allah SWT."
Dengan demikian, Gus Dur melanjutkan, "menjadi kemerdekaan bagi kaum Muslimin untuk turut menghormati hari kelahiran Nabi Isa, yang sekarang disebut hari Natal. Mereka bebas merayakannya atau tidak, karena itu sesuatu yang dibolehkan oleh agama. Penulis ( Gus Dur ) menghormatinya, kalau perlu dengan turut bersama kaum Kristiani merayakannya bersama-sama."
Dalam litelatur fiqih, Gus Dur mengimbuhkan, jika seorang muslim duduk bersama-sama dengan orang lain yang sedang melaksanakan peribadatan mereka, seorang Muslim diperkenankan turut serta duduk dengan mereka asalkan ia tidak turut dalam ritual kebaktian. Namun hal ini masih merupakan ganjalan bagi kaum muslimin pada umumnya, karena kekhawatiran mereka akan dianggap turut berkebaktian yang sama.
"Karena itulah, kaum Muslimin biasanya menunggu di sebuah ruangan, sedangkan ritual kebaktian dilaksanakan di ruang lain. Jika telah selesai, baru kaum Muslimin duduk bercampur dengan mereka untuk menghormati kelahiran Isa al-Masih."

Comments