🎁 Spesial buat pengunjung Idblogpacker, akan ada yang spesial dalam 5 detik...

Dilematika UNAS: Saat Nilai Salah Berbicara - Sebuah catatan seorang siswi yang galau akan kepastian dan kebenaran UNAS

Ada sebuah surat yang sedang heboh di surabaya, kenapa bisa di katakan heboh? karena surat tersebut sangat berani dalam kata-kata maupun ungkapannya, sebenarnya lebih mengarah sebuah curhatan, dan yang membikin heboh adalah surat tersebut berisi curhatan seorang siswi di sebuah sekolah di surabaya yang ditujukan untuk Mendikbud. Namanya Nurmillaty Abadiah "katanya" dia adalah siswi sekolah SMA Khadijah yang dengan sangat berani mengkritik tentang UNAS. Di bawah ini adalah curhatan dia yang di tulis di dalam catatan facebooknya.

16. Mencontek adalah sebuah perbuatan…
a. terpaksa 
b. terpuji 
c. tercela 
d. terbiasa

Ardi berhenti di soal nomor enam belas itu, salah satu soal ulangan Budi Pekerti semasa dia kelas 2 SD dulu. Ia tertegun, dan hatinya berdenyut perih saat dilihatnya sebuah coretan menyilang pilihan jawaban C. Coretan tebal, panjang, ciri khas si Ardi kecil yang menjawab nomor itu tanpa ragu, melainkan dengan penuh keyakinan…
Handphonenya berdering pelan, sebuah SMS masuk. Ardi membukanya, dan ia menghela nafas dalam-dalam begitu membaca isinya. 
Jadi gimana Di, ikutan pakai ‘itu’ nggak? 
Barangkali bukan kebetulan Ardi menemukan soal-soal ulangan SD-nya saat ia mau mencari buku-buku lamanya, barangkali bukan kebetulan Ardi membaca soal nomor enam belas dan jawaban polosnya itu, sebab denyut perih di hatinya baru mereda setelah ia mengirim sebaris kalimat yakin… 
Nggak, Jo, aku mau jujur aja. 
Sebuah balasan pahit mampir selang beberapa detik setelahnya, 
Ah, cemen kamu. 
Tapi tidak, Ardi tak goyah. Ia mengulum senyum dan batinnya berbisik pelan, salah, Jo. 
Jujur itu keren.

UNAS. Sebuah jadwal tahunan yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk mengevaluasi hasil belajar siswa selama tahun-tahun sebelumnya. Sebuah penentu kelayakan seorang siswa untuk lulus dari jenjang pendidikan yang sudah dia jalani atau tidak. UNAS sudah sejak lama ada, meliputi berbagai tingkat pendidikan, mulai dari SD, SMP, sampai yang terakhir, yakni SMA. Sudah sejak lama pula UNAS menuai pro dan kontra, yang mana rupanya kontra itu belakangan ini berhasil 'memaksa' pemerintah untuk menghapuskan UNAS di tingkatan SD. Sedang untuk tingkat SMP dan SMA, kemungkinan itu masih harus menunggu.

Tiap kali UNAS akan digelar, seluruh elemen masyarakat ikut tertarik ke dalam pusaran perbincangannya. Perdebatan tentang perlu-tidaknya diadakan UNAS tak pernah absen dari obrolan ringan di warung kopi, dan acara-acara yang mengklaim ingin memotivasi para peserta UNAS pun bermunculan di berbagai channel televisi. Di sela-sela program motivasi itu, jikalau ada sesi tanya-jawab, hampir bisa dipastikan akan ada seorang partisipan yang melempar tanya:

"Bagaimana dengan kecurangan UNAS?"

Ah, ya, UNAS memang belum pernah lepas dari ketidakjujuran.

Sekarang, jangan marah jika saya bilang bahwa UNAS identik dengan kecurangan. Sebab jika tidak, pertanyaan itu tidak akan terlalu sering terdengar. Tapi nyatanya, semakin lama pertanyaan itu semakin berdengung di tiap sudut daerah yang punya lembaga pendidikan; dan tahukah apa yang menyedihkan? Yang paling menyedihkan adalah saat lembaga-lembaga pendidikan itu, tempat kita belajar mengeja kalimat 'kejujuran adalah kunci kesuksesan' itu, hanya mampu tersenyum tipis dan menahan kata di depan berita-berita ketidakjujuran yang simpang-siur di berbagai media.

UNAS dengan segala problematika dan dilematika yang dibawanya memang tak pernah habis untuk dikupas, dan sayangnya ia tak pernah bosan pula menemui jalan buntu. Dari tahun ke tahun selalu ada laporan tentang kecurangan, tetapi ironisnya setiap tahun itu pula pemerintah tetap tersenyum dan mengabarkan dengan bahagia bahwa 'UNAS tahun ini mengalami peningkatan, kelulusan tahun ini mengalami kenaikan, rata-rata tahun ini mengalami kemajuan', dan hal-hal indah lainnya. Dulu, saat saya belum menginjak kelas tiga, saya berpikir bahwa grafik itu benar adanya dan saya pun terkagum-kagum oleh peningkatan pendidikan yang dialami oleh generasi muda Indonesia.

Tetapi sekarang, sebagai pelajar yang baru saja menjalani UNAS... dengan berat hati saya mengaku bahwa saya tidak bisa lagi percaya pada dongeng-dongeng itu. Sebagai pelajar yang baru saja menjalani UNAS, saya justru punya banyak pertanyaan yang saya pendam dalam hati saya. Banyak beban pikiran yang ingin saya utarakan kepada Bapak Menteri Pendidikan. Tapi tenang saja, Bapak tidak perlu menjadi pembaca pikiran untuk tahu semua itu, karena saya akan menceritakannya sedikit demi sedikit di sini. Dari berbagai kekalutan dan tanda tanya yang menyesaki otak sempit saya, saya merumuskannya menjadi tiga poin penting...

Pertama, tentang kesamarataan bobot pertanyaan-pertanyaan UNAS, yang tahun ini Alhamdulillah ada dua puluh paket.

Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat... pernah tidak terpikir oleh Bapak bagaimana caranya seorang guru Bahasa Indonesia bisa membuat 20 soal yang berbeda, dengan tingkat kesulitan yang sama, untuk satu SKL saja? Pernah tidak terpikir oleh Bapak bagaimana caranya seorang guru Biologi membuat 20 soal yang berbeda, dengan taraf kesulitan yang sama, hanya untuk satu indikator 'menjelaskan fungsi organel sel pada tumbuhan dan hewan'?

Menurut otak sempit saya, sejujurnya, itu mustahil. Mau tidak mau akan ada satu tipe soal yang memuat pertanyaan dengan bobot lebih susah dari tipe lain. Hal ini jelas tidak adil untuk siswa yang kebetulan apes, kebetulan mendapatkan tipe dengan soal susah sedemikian itu. Sebab orang tidak akan pernah peduli apakah soal yang saya terima lebih susah dari si A atau tidak. Manusia itu makhluk yang seringkali terpaku pada niai akhir, Pak. Orang tidak akan pernah bertanya, 'tipe soalmu ada berapa nomor yang susah?' melainkan akan langsung bertanya, 'nilai UNASmu berapa?'.

Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, di sini Bapak akan beralasan, barangkali, bahwa jika siswa sudah belajar, maka sesusah apapun soalnya tidak akan bermasalah. Tapi coba ingat kembali, Pak, apa sih tujuan diadakannya Ujian Nasional itu? Membuat sebuah standard untuk mengevaluasi siswa Indonesia, 'kan? Untuk menetapkan sebuah garis yang akan jadi acuan bersama, 'kan? Sekarang, bagaimana bisa UNAS dijadikan patokan nasional saat antar paket saja ada ketidakmerataan bobot soal? Ini belum tentang ketidakmerataan pendidikan antar daerah, lho, Pak.

Kedua, tentang pertanyaan-pertanyaan UNAS tahun ini, yang, menurut saya, menyimpang dari SKL.

Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, saya tahu Bapak sudah mengklarifikasinya di twitter, bahwa soal tahun ini bobot kesulitannya di naikkan sedikit (saya tertawa miris di bagian kata 'sedikit' ini). Tapi, aduh, jujur saya bingung juga Pak bagaimana menanggapinya. Pertama, bobot soal kami dinaikkan hanya sampai standard Internasional. Kedua, konfirmasi itu Bapak sampaikan setelah UNAS selesai. Saya jadi paham kenapa di sekolah saya disiapkan tabung oksigen selama pelaksanaan UNAS. Mungkin sekolah khawatir kami pingsan saking bahagianya menemui soal-soal itu, 'kan?

Bapak, saya tidak mengerti, benar-benar tidak mengerti... apa yang ada di pikiran Bapak-Bapak semua saat membuat, menyusun, dan mencetak soal-soal itu? Bapak mengatakan di twitter Bapak, 'tiap tahun selalu ada keluhan siswa karena soal yang baru'. Tapi, Pak, sekali ini saja... sekali ini saja saya mohon, Bapak duduk dengan santai, kumpulkan contoh soal UNAS tahun dua ribu sebelas, dua ribu dua belas, dua ribu tiga belas, dan dua ribu empat belas. Dengan kepala dingin coba Bapak bandingkan, perbedaan tingkat kesulitan dua ribu sebelas dengan dua ribu dua belas seperti apa. Perbedaan bobot dua ribu dua belas dengan dua ribu tiga belas seperti apa. Dan pada akhirnya, coba perhatikan dan kaji baik-baik, perbedaan tipe dan taraf kerumitan soal dua ribu tiga belas dengan dua ribu empat belas itu seperti apa.

Kalau Bapak masih merasa tidak ada yang salah dengan soal-soal itu, saya ceritai sesuatu deh Pak. Bapak tahu tidak, saat hari kedua UNAS, saya sempat mengingat-ingat dua soal Matematika yang tidak saya bisa. Saya ingat-ingat sampai ke pilihan jawabannya sekalipun. Kemudian, setelah UNAS selesai, saya pergi menghadap ke guru Matematika saya untuk menanyakan dua soal itu. Saya tuliskan ke selembar kertas, saya serahkan ke beliau dan saya tunggu. Lalu, hasilnya? Guru Matematika saya menggelengkan kepalanya setelah berkutat dengan dua soal itu selama sepuluh menit. Ya... beliau bilang ada yang salah dengan kedua soal itu. Tetapi yang ada di kepala saya hanya pertanyaan-pertanyaan heran...

Bagaimana bisa Bapak menyuruh saya menjawab sesuatu yang guru saya saja belum tentu bisa menjawabnya?

Tidak diuji dulukah kevalidan soal-soal UNAS itu?

Bapak ujikan ke siapa soal-soal itu? Para dosen perguruan tinggi? Mahasiswa-mahasiswa semester enam?

Lupakah Bapak bahwa nanti yang akan menghadapi soal-soal itu adalah kami, para pelajar kelas tiga SMA dari seluruh Indonesia?

Haruskah saya ingatkan lagi kepada Bapak bahwa di Indonesia ini masih ada banyak sekolah-sekolah yang jangankan mencicipi soal berstandard Internasional, dilengkapi dengan fasilitas pengajaran yang layak saja sudah sujud syukur?

Etiskah menuntut sebelum memberi?

Etiskah memberi kami soal berstandard Internasional di saat Bapak belum mampu memastikan bahwa seluruh Indonesia ini siap untuk soal setingkat itu?

Pada bagian ini, Bapak mungkin akan teringat dengan berita, 'Pelajar Mengatakan bahwa UNAS Menyenangkan'. Kemudian Bapak akan merasa tidak percaya dengan semua yang sudah saya katakan. Kalau sudah begitu, itu hak Bapak. Saya sendiri juga tidak percaya kenapa ada yang bisa mengatakan bahwa UNAS kemarin menyenangkan. Awalnya saya malah mengira bahwa itu sarkasme, sebab sejujurnya, tidak sedikit teman-teman saya yang menangis sesudah mengerjakan Biologi. Mereka menangis lagi setelah Matematika dan Kimia. Lalu airmata mereka juga masih keluar seusai mengerjakan Fisika. Sekarang, di mana letak 'UNAS menyenangkan' itu? Bagi saya, hanya ada dua jawabannya; antara narasumber berita itu memang sangat pintar, atau dia menempuh jalan pintas...

Jalan pintas itu adalah hal ketiga yang menganggu pikiran saya selama UNAS ini. Sebuah bentuk kecurangan yang tidak pernah saya pahami mengapa bisa terjadi, yaitu joki.

Mengapa saya tidak paham joki itu bisa terjadi? Sebab, setiap tahun pemerintah selalu gembar-gembor bahwa "Soal UNAS aman! Tidak akan bocor! Pasti terjamin steril dan bersih!", tetapi ketika hari H pelaksanaan... voila! Ada saja joki yang jawabannya tembus. Jika bocor itu paling-paling hanya lima puluh persen benar, ini ada joki yang bisa sampai sembilan puluh persen akurat. Sembilan puluh persen! Astaghfirullah hal adzim, itu bukan bocor lagi namanya, melainkan banjir. Kemudian ajaibnya pula, yang sudah dilakukan pemerintah untuk menanggulangi hal ini sepanjang yang saya lihat baru satu: menambah tipe soal! Kalau sewaktu saya SD dulu tipe UNAS hanya satu, sewaktu SMP beranak-pinak menjadi lima. Puncaknya sewaktu SMA ini, berkembang-biak menjadi 20 paket soal. Pemerintah agaknya menganggap bahwa banyaknya paket soal akan membuat jawaban joki meleset dan UNAS dapat berjalan mulus, murni, bersih, sebersih pakaian yang dicuci pakai detergen mahal.

Iya langsung bersih cling begitu, toh?

Nyatanya tidak.

Sekalipun dengan 20 paket soal, joki-joki itu rupanya masih bisa memprediksi soal sekaligus jawabannya. Peningkatan jumlah paket itu hanya membuat tarif mereka makin naik. Setahu saya, mereka bahkan bisa menyertakan kalimat pertama untuk empat nomor tententu di tiap paket agar para siswa bisa mencari yang mana paket mereka. Lho, kok bisa? Ya entah. Tidak sampai di sana, jawaban yang mereka berikan pun bisa tembus sampai di atas sembilan puluh persen. Lho, kok bisa? Ya sekali lagi, entah. Seperti yang saya bilang, kalau sudah sampai sembilan puluh persen akurat begitu bukan bocor lagi namanya, melainkan banjir bandang. Saat joki sudah bisa menyertakan soal, bukan hanya jawaban, maka adalah sebuah misteri Ilahi jika pemerintah masih sanggup bersumpah tidak ada main-main dari pihak dalam.

Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, saya memang hanya pelajar biasa. Tapi saya juga bisa membedakan mana jawaban yang mengandalkan dukun dan mana jawaban yang didapat karena sempat melihat soal. Apa salah kalau akhirnya saya mempertanyakan kredibilitas tim penyusun dan pencetak soal? Sebab jujur saja, air hujan tidak akan menetesi lantai rumah jika tidak ada kebocoran di atapnya.

Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat... tiga hal yang saya paparkan di atas sudah sejak lama menggumpal di hati dan pikiran saya, menggedor-gedor batas kemampuan saya, menekan keyakinan dan iman saya.

Pernah terpikirkah oleh Bapak, bahwa tingkat soal yang sedemikian inilah yang memacu kami, para pelajar, untuk berbuat curang? Jika tidak... saya beritahu satu hal, Pak. Ada beberapa teman saya yang tadinya bertekad untuk jujur. Mereka belajar mati-matian, memfokuskan diri pada materi yang diajarkan oleh para guru, dan berdoa dengan khusyuk. Tetapi setelah melihat soal yang tidak berperikesiswaan itu, tekad mereka luruh. Saat dihadapkan pada soal yang belum pernah mereka lihat sebelumnya itu, mereka runtuh. Mereka menangis, Pak. Apa kesalahan mereka sehingga mereka pantas untuk dibuat menangis bahkan setelah mereka berusaha keras? Beberapa dari mereka terpaksa mengintip jawaban yang disebar teman-teman, karena dihantui oleh perasaan takut tidak lulus. Beberapa lainnya hanya bisa bertahan dalam diam, menggenggam semangat mereka untuk jujur, berdoa di antara airmata mereka... berharap Tuhan membantu.

Saya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan teman-teman yang terpaksa curang setelah mereka belajar tetapi soal yang keluar seperti itu. Kami mengemban harapan dan angan yang tak sedikit di pundak kami, Pak. Harapan guru. Harapan sekolah. Harapan orangtua. Semakin jujur kami, semakin berat beban itu. Sebelum sampai di gerbang UNAS, kami telah melewati ulangan sekolah, ulangan praktek, dan berbagai ulangan lainnya. Tenaga, biaya, dan pikiran kami sudah banyak terkuras. Tetapi saat kami menggenggam harapan dan doa, apa yang Bapak hadapkan pada kami? Soal-soal yang menurut para penyusunnya sendiri memuat soal OSN. Yang benar saja, Pak. Saya tantang Bapak untuk duduk dan mengerjakan soal Matematika yang kami dapat di UNAS kemarin selama dua jam tanpa melihat buku maupun internet. Jika Bapak bisa menjawab benar lima puluh persen saja, Bapak saya akui pantas menjadi Menteri. Kalau Bapak berdalih 'ah, ini bukan bidang saya', lantas Bapak anggap kami ini apa? Apa Bapak kira kami semua ini anak OSN? Apa Bapak kira kami semua pintar di Matematika, Fisika, Biologi, Kimia, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris sekaligus? Teganya Bapak menyuruh kami untuk lulus di semua bidang itu? Sudah sepercaya itukah Bapak pada kecerdasan kami?

Tidak.

Tentu saja Bapak tidak sepercaya itu pada kami. Sebab jika Bapak percaya, Bapak tidak akan sampai terpikir untuk membuat dua puluh paket soal, padahal lima paket saja belum tentu bobot soal kelima paket itu seratus persen sama. Jika Bapak percaya, Bapak tidak akan sengaja meletakkan persentase UNAS di atas persentase nilai sekolah untuk nilai akhir kami, padahal belum tentu kemurnian nilai UNAS itu di atas kemurnian nilai sekolah. Jika Bapak percaya, Bapak tidak akan merasa perlu untuk melakukan sidak. Jika Bapak percaya... mungkin Bapak bahkan tidak akan merasa perlu untuk mengadakan UNAS.


.........

.........

.........

Anda akan mengatakan kalimat klise itu, Pak, bahwa nilai itu tidak penting, yang penting itu kejujuran.

Tapi tahukah, bahwa kebijakan Bapak sangat kontradiktif dengan kata-kata Bapak itu? Bapak memasukkan nilai UNAS sebagai pertimbangan SNMPTN Undangan. Bapak meletakkan bobot UNAS (yang hanya berlangsung tiga hari tanpa jaminan bahwa siswa yang menjalani berada dalam kondisi optimalnya) di atas bobot nilai sekolah (yang selama tiga tahun sudah susah payah kami perjuangkan) dalam rumus nilai akhir kami. Bapak secara tidak langsung menekankan bahwa UNAS itu penting, dan itulah kenyataannya, Pak. Itulah kenyataan yang membuat kami, para pelajar, goyah. Takut. Tertekan. Tahukah Bapak bahwa kepercayaan diri siswa mudah hancur? Pertahanan kami semakin remuk ketika kami dihadapkan oleh soal yang berada di luar pengalaman kami. Pernahkah Bapak pikirkan ini sebelumnya? Bahwa soal yang di luar kemampuan kami, soal yang luput Bapak sosialisasikan kepada kami meskipun persiapan UNAS tidak hanya satu-dua minggu dan Bapak sebetulnya punya banyak kesempatan jika saja Bapak mau, sesungguhnya bisa membuat kami mengalami mental breakdown yang sangat kuat? Pernahkah Bapak pikirkan ini sebelum memutuskan untuk mengeluarkan soal-soal tidak berperikesiswaan itu dalam UNAS, yang notabene adalah penentu kelulusan kami?

Pada akhirnya, Pak, izinkan saya untuk mengatakan, bahwa apa yang sudah Bapak lakukan sejauh ini tentang UNAS justru hanya membuat kecurangan semakin merebak. Bapak dan orang-orang dewasa lainnya sering mengatakan bahwa kami adalah remaja yang masih labil. Masih dalam proses pencarian jati diri. Sering bertingkah tidak tahu diri, melanggar norma, dan berbuat onar. Tapi tahukah, ketika seharusnya Bapak selaku orangtua kami memberikan kami petunjuk ke jalan yang baik, apa yang Bapak lakukan dengan UNAS selama tiga hari ini justru mengarahkan kami kepada jati diri yang buruk. Tingkat kesulitan yang belum pernah disosialisasikan ke siswa, joki yang tidak pernah diusut sampai tuntas letak kebocorannya, paket soal yang belum jelas kesamarataan bobotnya, semua itu justru mengarahkan kami, para siswa, untuk mengambil jalan pintas. Sekolah pun ditekan oleh target lulus seratus persen, sehingga mereka diam menghadapi fenomena itu alih-alih menentang keras. Para pendidik terdiam ketika seharusnya mereka berteriak lantang menentang dusta. Kalau perlu, sekalian jalin kesepakatan dengan sekolah lain yang kebetulan menjadi pengawas, agar anak didiknya tidak dipersulit.

Sampai sini, masih beranikah Bapak katakan bahwa tidak ada yang salah dengan UNAS? Ada yang salah, Pak. Ada lubang yang menganga sangat besar tidak hanya pada UNAS tetapi juga pada sistem pendidikan di negeri ini. Siapa yang salah? Barangkali sekolah yang salah, karena telah membiarkan kami untuk menyeberang di jalur yang tak benar. Barangkali kami yang salah, karena kami terlalu pengecut untuk mempertahankan kejujuran. Barangkali joki-joki itu yang salah, karena mereka menjual kecurangan dan melecehkan ilmu untuk mendapat uang.

Tapi tidak salah jugakah pemerintah? Tidak salah jugakah tim penyusun UNAS? Tidak salah jugakah tim pencetak UNAS? Ingat Pak, kejahatan terjadi karena ada kesempatan. Bukankah sudah menjadi tugas Bapak selaku yang berwenang untuk memastikan bahwa kesempatan untuk berlaku curang itu tidak ada?

Mungkin Bapak tidak akan percaya pada saya, dan Bapak akan berkata, "Kita lihat saja hasilnya nanti."

Kemudian sebulan lagi ketika hasil yang keluar membahagiakan, ketika angka delapan dan sembilan bertebaran di mana-mana, Bapak akan melupakan semua protes yang saya sampaikan. Bapak akan menganggap ini semua angin lalu. Bapak akan berpesta di atas grafik indah itu, menggelar ucapan selamat kepada mereka yang lulus, kepada tim UNAS, kepada diri Bapak sendiri, dan Bapak akan lupa. Bapak yang saya yakin sudah berkali-kali mendengar pepatah 'don't judge a book by its cover', akan lupa untuk melihat ke balik kover indah itu. Bapak akan melupakan kemungkinan bahwa yang Bapak lihat itu adalah hasil kerja para 'ghost writer UNAS'. Bapak akan lupa untuk bertanya kepada diri Bapak, berapa persen dari grafik itu yang mengerjakan dengan jujur? Kemudian Bapak akan memutuskan bahwa Indonesia sudah siap dengan UNAS berstandard Internasional, padahal kenyataannya belum. Joki-jokinyalah yang sudah siap, bukan kami. Mengerikan bukan, Pak, efek dari tidak terusut tuntasnya joki di negeri ini? Mengerikan bukan, Pak, ketika kebohongan menjelma menjadi kebenaran semu?

Bapak, tiga hari ini, kami yang jujur sudah menelan pil pahit. Pil pahit karena ketika kami berusaha begitu keras, beberapa teman kami dengan nyamannya tertidur pulas karena sudah mendapat wangsit sebelum ulangan. Pil pahit karena ketika kami masih harus berjuang menjawab beberapa soal di waktu yang semakin sempit, beberapa teman kami membuat keributan dengan santai, sedangkan para pengawas terlalu takut untuk menegur karena sudah ada perjanjian antar sekolah. Pil pahit, karena kami tidak tahu hasil apa yang akan kami terima nanti, apakah kami bisa tersenyum, ataukah harus menangis lagi...

Berhentilah bersembunyi di balik kata-kata, "Saya percaya masih ada yang jujur di generasi muda kita". Ya ampun Pak, kalau hanya itu saya juga percaya. Tetapi masalahnya bukan ada atau tidak ada, melainkan berapa, dan banyakan yang mana? Sebab yang akan Bapak lihat di grafik itu adalah grafik mayoritas. Bagaimana jika mayoritas justru yang tidak jujur, Pak? Cobalah, untuk kali ini saja tanyakan ke dalam hati Bapak, berapa persen siswa yang bisa dijamin jujur dalam UNAS, dibandingkan dengan yang hanya jujur di atas kertas?

(Ngomong-ngomong, Pak, banyak dosa bisa menyebabkan negara celaka. Kalau mau membantu mengurangi dosa masyarakat Indonesia, saya punya satu usul efektif. Hapuskan kolom 'saya mengerjakan ujian dengan jujur' dari lembar jawaban UNAS.)

UNAS bukan hal remeh, Pak, sama sekali bukan; terutama ketika hasilnya dijadikan parameter kelulusan siswa, parameter hasil belajar tiga tahun, sekaligus pertimbangan layak tidaknya kami untuk masuk universitas tujuan kami. Jika derajat UNAS diletakkan setinggi itu, mestinya kredibilitas UNAS juga dijunjung tinggi pula. Mestinya tak ada cerita tentang soal bocor, bobot tidak merata, dan tingkat kesulitan luput disosialisasikan ke siswa.

Kejujuran itu awalnya sakit, tapi buahnya manis.

Dan saya tahu itu, Pak.

Tapi bukankah Pengadilan Negeri tetap ada meski kita semua tahu keadilan pasti akan menang?

Bukankah satuan kepolisian masih terus merekrut polisi-polisi baru meski kita semua tahu kebenaran pasti akan menang?

Dan bukankah itu tugas Bapak dan instansi-instansi pendidikan, untuk menunjukkan pada kami, para generasi muda, bahwa kejujuran itu layak untuk dicoba dan tidak mustahil untuk dilakukan?

Kejujuran itu awalnya sakit, buahnya manis.

Tapi itu bukan alasan bagi Bapak untuk menutup mata terhadap kecurangan yang terjadi di wilayah kewenangan Bapak.

Kami yang berusaha jujur masih belum tahu bagaimana nasib nilai UNAS kami, Pak. Tapi barangkali hal itu terlalu remeh jika dibandingkan dengan urusan Bapak Menteri yang bejibun dan jauh lebih berbobot. Maka permintaan saya mewakili teman-teman pelajar cuma satu; tolong, perbaikilah UNAS, perbaikilah sistem pendidikan di negeri ini, dan kembalikan sekolah yang kami kenal. Sekolah yang mengajarkan pada kami bahwa kejujuran itu adalah segalanya. Sekolah yang tidak akan diam saat melihat kadernya melakukan tindak kecurangan. Kami mulai kehilangan arah, Pak. Kami mulai tidak tahu kepada siapa lagi kami harus percaya. Kepada siapa lagi kami harus mencari kejujuran, ketika lembaga yang mengajarkannya justru diam membisu ketika saat untuk mengamalkannya tiba...
Dari anakmu yang meredam sakit,
Pelajar yang baru saja mengikuti UNAS.

Jika dilihat dari susunan kata-katanya, apakah benar itu catatan dan pemikiran seorang siswi, kalau saya lihat banyak artikel yang sudah dia tulis di dalam blognya itu juga banyak yang mengkritik tentang UNAS dan pelajaran, dan artikel itu di tulis tahun 2010, ini linknya http://enemacyo.blogspot.com/2010/01/detik-detik-uas.html dan juga http://enemacyo.blogspot.com/2010/01/osn-olimpiade-setrez-nasional.html intinya mungkin dulu ia masih sekolah, tetapi dalam kurun waktu 4 tahun ini tidak mungkin kalau surat yang di atas itu tulisan seorang siswi yang masih duduk di bangku SMA, menurut saya sekarang pastinya sudah alumni atau sudah kuliah malahan karena penggabungan kata-katanya sangat bagus dan mudah di cerna juga. Tetapi saya sangat mendukung dan mengapresiasi curhatan-curhatan di atas karena itulah realita sekarang ini, semoga saja orang-orang yang nomor wahid di sana menjadi sadar dan lebih tau apa yang terbaik untuk para generasi-generasi yang akan datang ini.

Untuk tambahan, kemarin setelah UNAS admin jg menemukan secuil kertas bocoran yang saya dapatkan dari seorang murid SMA entah itu benar tembus atau tidak tetapi itulah buktinya kalau memang kecurangan itu ada, entah seberapa sulit halangannya. Kalau seperti ini di manfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab entah dijual atau bagaimana terus apa solusinya?? Kasian juga kan anak-anaknya harus merogoh kocek orang tua hanya untuk lembaran kertas seperti ini. Ndak tau ini memang benar tembus atau tidak, dan juga ga tau dari mana ia mendapatkan ini, tetapi untuk PR bapak/ibu KEMENDIKBUD saja untuk solusi kedepannya.





Share:

Flash Ulang Samsung Galaxy Young GT-S5360 menggunakan ODIN

Barusan tadi temen ane ada masalah kalau hpnya bootlop hanya muncul tulisan samsung, di bawa ke konter katanya biayanya 60 ribu, yang punya konter pun akhirnya nyerah ga bisa dan malah di suruh bawa ke galeri servis centernya samsung. Dari pada hilang 60 ribu mending tak coba'e saja kali aja bisa, itung2 bantu temen, ga ada setengah jam beres masalah, lumayan dapat bakso 1 porsi... hahahaha

Di bawah ini saya share tutorial flash ulang samsung galaxy young yang barusan ane coba tadi, meskipun artikelnya nyomot tp khan ga sembarangan copi paste.. hehehe mungkin bisa berguna bagi yang memiliki permasalahan yang sama dengan temen ane tadi.

Langsung saja, sebelum memulai proses installasi, baiknya siapkan dulu bahan-bahan yang digunakan untuk melakukan operasi ini, seperti : Firmware Galaxy Young, ODIN, Samsung USB Driver. Untuk kamu yang bingung mendapatkan file-file tersebut saya sudah menyiapkan link downloadnya, silahkan di download.
  • Firmware Samsung Galaxy Young ~  Download
  • Samsung USB Driver  ~ Download
  • Odin dan Pit  ~  Download
Setelah semua file tersebut berhasil di download, lakuan persiapan kedua, seperti menginstall USB Driver, mengekstrak file Firmware dan lain sebagainya. Jika semuanya siap tinggal melakukan proses flashing.
  1. Pastikan Ponsel anda dalam keadaan mati. Kemudian masuk dalam Download Mode caranya tekan tombol Power + Home + Volume Down secara bersamaan. Jika dilakukan dengan benar, akan muncul tampilan seperti ini.

    Cara Install Ulang (Flashing) Samsung Galaxy Young 2014
  2. Setelah muncul tampilan seperti diatas, tekan tombol Volume Up sampai benar-benar masuk dalam download mode seperti gambar dibawah ini

    Cara Install Ulang (Flashing) Samsung Galaxy Young 2014
  3. Jalankan aplikasi Odin di komputer, hubungan ponsel Galaxy Young ke Komputer menggunakan kabel USB.
  4. Pastikan Ponsel dan Komputer terhubung dengan baik, hal ini ditandai dengan munculnya pesan pada kotak dialog pesan di aplikasi Odin added dan ID:COM berwarna kuning.

    Cara Install Ulang (Flashing) Samsung Galaxy Young 2014
  5. Masukan file firmware yang telah diekstrak tadi sesuai namanya :
    • Pit : Totoro_XXX.Pit
    • Bootloader : DefaultCalDataWithBoot_XXX.tar.md5
    • PDA : PDA_S5360_XXX.tar.md5
    • Phone : Modem_S5360_XXX.tar.md5
    • CSC : GT-S5360-multi-csc_XXX.tar.md5
     
  6. Pastikan semua file tersimpan di kolom yang benar, jika sudah yakin semuanya benar, klik tombol Start tunggu sekitar 3 menit hingga proses selesai. Jika benar, akan muncul tulisan PASS berwarna hijau.

    Cara Install Ulang (Flashing) Samsung Galaxy Young 2014
  7. Proses flashing selesai, keluarkan aplikasi odin, cabut kabel USB dari komputer.
semua langkah diatas tentunya telah melewati proses uji-coba pada ponsel pemilik blog ini dan terbukti sukses. Segala kerusakan atas ponsel anda setelah mengikuti langkah install ulang pada blog ini menjadi tanggung jawab pribadi.
Ini gan hasilnya... hemat 60 ribu tow... :)



Share:

Facebook Adult: Kelakuan anak sekarang pamer belahan dada di facebook

Bagaimana gan, andalah yang menilai...!!!
Entah mengikuti tren masa kini atau hanya sekedar biar dilihat keren, mungkin apa yang ia lakukan biasa tetapi dunia maya bukan hanya satu dua orang yang melihat, dalam pandangan orang-orang pun bisa bermacam-macam mungkin sepintas terlihat " wah itu cewek murahan.. " kalau sudah seperti itu diri sendiri juga yang rugi. Jadi sudah sepantasnyalah internet di gunakan dengan baik dan berbagi hal-hal yang baik bukan malah merusak moral bangsa indonesia.
Silahkan yang mau kenalan di alamat facebook ini https://www.facebook.com/kiki.liana.3950

 






PERHATIAN: Tidak untuk ditiru karena orang usil ada dimana-mana.
Share:

Mengenal lebih dalam suku Jawa di suriname dan rute yang di tempuh dari Indonesia ke Suriname



Suku Jawa Suriname, adalah suatu kehadiran kelompok masyarakat baru yang berasal dari kepulauan Indonesia sekitar akhir abad 19, yang dibawa oleh pemerintah Belanda yang pada saat itu menguasai Suriname di Amerika Selatan. Negara Suriname memerlukan tenaga kerja untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan.

kuli kontrak Jawa dalam perjalanan ke Suriname
sumber wulanwahyuning
Para pekerja perkebunan di Suriname sebelumnya dikerjakan oleh para budak Negro dari Afrika. Setelah perbudakan dihapuskan, para budak Negro berduyun-duyun meninggalkan perkebunan dan menuju kota-kota di Suriname. Para orang-orang Negro ini disebut sebagai Kreol Suriname. Akibatnya perkebunan tersebut pun kosong dan tidak memiliki pekerja.
Setelah kepergian para budak Negro yang telah hidup bebas tersebut, maka digantikan para kuli kontrak dari Tionghoa dan India yang disebut sebagai Hindustan Suriname. Tapi sepertinya perkebunan tetap kekurangan tenaga kerja, dan akhirnya pemerintah Belanda mengambil pekerja baru ke Hindia Belanda (kini Indonesia) dengan sistem razia dan dipaksa dikapalkan ke Suriname. Para pekerja paksa dari Indonesia ini mayoritas dari pulau Jawa tepatnya dari etnis Jawa dan Sunda, yang kebanyakan dari mereka adalah para petani buta aksara. Antara tahun 1890–1939, terdapat lebih dari 33.000 jiwa orang Jawa yang dibawa ke Suriname.

Suriname adalah sebuah Negara Republik yang berbatasan dengan Guyana Perancis di Timur dan Guyana di Barat, di selatan Suriname berbatasan dengan Brasil dan di selatannya terdapat Samudra Atlantik, dan berada di Amerika Selatan. Suriname dengan Ibukotanya Paramaribo, memproklamasikan kemerdekaannya dari Belanda pada tanggal 25 November 1975, 36 Tahun yang lalu, dengan jumlah penduduk berdasarkan sensus penduduk 2004 berjumlah 487.024 dengan kepadatan penduduk 3 orang/km2 yang mendiami Negara Republik Suriname seluas 160.273 Km2, yang terbagi dalam 10 Districk, Negara Republik Suriname dipimpin oleh seorang Presiden.

Sebagaimana telah diketahui sebelumnya bahwa para pekerja paksa yang berasal dari Indonesia (mayoritas suku Jawa) bermukim di Suriname sejak tahun 1880. Ribuan tenaga kerja yang direkrut oleh Belanda sebenarnya bukanlah seluruhnya dari etnis Jawa, tapi dari berbagai macam suku etnis di Indonesia di wilayah luar pulau Jawa juga direkrut.

Dari total 32.965 imigran Jawa di Suriname, pada tahun 1954 sebanyak 8684 orang Jawa kembali ke Indonesia. Pada Sensus tahun 1972 terdapat sebanyak 57.688 orang Jawa di suriname, dan pada tahun 2004 ada 71.879 orang. Pada tahun 2004 terdapat lebih dari 60.000 orang keturunan campuran, lalu kemudian tidak diketahui lagi jumlah pasti keturunan Jawa di Suriname.

Pada tahun 1953 sekelompok besar 300 keluarga (1.200 orang), yang dipimpin oleh Saikin Hardjo, kembali ke Indonesia pada Langkuas kapal dari Royal Rotterdam Lloyd. Mereka berniat untuk pulang ke pulau Jawa, tapi permintaan mereka tidak disetujui oleh pemerintah Indonesia, dan sebagai gantinya mereka dikirim ke Sumatra Barat. Mereka membersihkan tanah, membangun rumah dan mendirikan desa Tongass di kabupaten Pasaman. Mereka terintegrasi lancar dengan masyarakat Minangkabau, meskipun fakta bahwa sebagian besar orang Jawa beragama Kristen, terjadi perkawinan dengan Minangkabau yang pada umumnya muslim. Generasi mereka saat ini dikatakan merasa lebih Indonesia daripada Suriname, tapi tetap mempertahankan hubungan dengan keluarga dan teman-teman di Suriname dan Belanda, kadang-kadang mereka berkunjung kembali ke negara-negara tersebut.

Pada tahun 1970-an sebanyak 20.000-25.000 Jawa Suriname pergi ke Belanda. Mereka menetap terutama di sekitar kota-kota seperti Groningen, Amsterdam, Rotterdam dan Zoetermeer. Mereka terintegrasi dengan baik ke dalam masyarakat Belanda, tetapi tetap mempertahankan identitas Jawa melalui asosiasi dan pertemuan yang diselenggarakan secara teratur. Sebagian besar di antara mereka masih memiliki kerabat di Suriname dan mengirim paket dan uang, dan secara teratur mengunjungi suriname.

beberapa tradisi adat Jawa
tetap dipertahankan 
Di Suriname orang Indonesia tersebar di beberapa tempat dan kampung yang gampang dikenali karena kampung mereka masih menggunakan nama-nama dalam bahasa Indonesia seperti desa Tamansari, desa Tamanrejo dan semacam itu. Untuk mengingat akan Tanah Air Indonesia selain dengan menggunakan nama pemukiman mereka dengan bahasa Indonesia, sedangkan bahasa yang digunakan oleh masyarakat Indonesia ini adalah bahasa Jawa. Walau ada beberapa dialek yang kurang pas kedengarannya di telinga, itu disebabkan oleh pengaruh bahasa Belanda dan bahasa Tongo, namun hanya pada dialek saja yang nampak lucu namun akan dapat dimengerti dengan baik oleh orang Indonesia bila mendengarnya. Fonologi bahasa Jawa Suriname menggunakan dialek Kedu yang menjadi bahasa induk Warga Negara Suriname asal Indonesia yang tentunya tak jauh berbeda dengan bahasa Jawa yang baku.

Ketua Parlemen Suriname Paul Slamet Somoharjo akrab disapa sebagai Soemoharjo yang terpilih menjadi Ketua parlemen sejak 30 Juni 2005 sampai saat ini , lahir di Ibukota Suriname Paramaribo 68 tahun yang lalu tepatnya 2 Mei 1943, beliau ini adalah Warga Negara Suriname keturunan Etnis Jawa, bayangkan nama Partainyapun menggunakan bahasa Indonesia yaitu Partai Pertjaja Luhur yang beranggotakan Warga Negara Suriname Asal Indonesia. Ada beberapa pejabat Pemerintahan, dan Tentara, serta pejabat lainnya yang juga berasal dari etnis Jawa.

Saya tertarik untuk mengetahui bagaimana suasana disana, dan penasaran dengan berapa jarak dan biaya yang di tempuh untuk bisa mencapai di sana, setelah saya tanyakan melalui grup yang ada di facebook seseorang memberitahu saya bahwa perjalanan menuju ke suriname kalau menggunakan kapal bisa 3 bulan, dan jika menggunakan pesawat terbang bisa melalui rute di bawah ini.

" ..ngene perjalane..saka Jakarta nyang Kuala Lumpur 1 jam setengah..transit 1 jam trus jalan(langit) meh 12 jam(tergantung angin) menyang Amsterdam, (tergantung maskapy)transit 5 - 8 jam trus jalan(langit) meh 9 jam setengah saka Amsterdam belanda nyang Paramaribo, Suriname..yen saka Jkt nyang Paramaribo(ibu kotha) ra iso langsung..kudu lewat Eropa..tergantung musime minimal 20 juta rupia..biaya transport tok..Suriname mlebu benua Amerika selatan..tangga negara Suriname ning selatan negara Brasil. "

Busyet pikir gw murah ternyata sekali perjalanan saja bisa habis 20 juta... hahahaha gw kira 5 jutaan sudah cukup.. :) Bisa tu mampir liat piala dunia di brasil tapi setelah itu jg gelandangan di sana gara-gara ga bisa pulang.. wkwkwkwk

Di bawah ini foto-foto orang-orang jawa di suriname pada jaman-jaman sekarang.


Anak muda sekarang







Tradisi kebersamaannya dalam pernikahan



Mungkin ini yang tidak ada di jawa, karena sudah bercampur dengan budaya luar.

Pernak-perniknya pun masih sama


Suasana daerahnya.






Kesenian jaranan yang ada di sana




sumber:
  • sejarah.kompasiana
  • id.wikipedia
  • jawa-suriname
  • wulanwahyuning
  • Grup Facebook
  • dan sumber lain
Share:

Foto-foto yang sedang Heboh! Payudara Agnes Mo Nyembul di Klip ‘Coke Bottle'

Berita yang sedang heboh dari kemarin itu tentang Payudara Agnez yang menyembul keluar di tengah-tengah aksinya lantaran bustie atau kemben yang dikenakannya melorot. Di video itu ketika ia berdampingan dengan Timbaland dan TI, Agnes mengenakan gaun strapless putih terlihat asyik bergoyang dengan mengangkat dua tangannya.
Pada menit pertama detik ke-13 (01.13) Agnes tidak menyadari jika bagian kanan bustier-nya melorot dan terlihatlah payudaranya menyembul keluar.


Apakah benar2 melorot kok sampe segitunya heboh?? Dari awal khan memang itu baju ketat mungkin pengambilan kameranya jg kebetulan sehingga seolah2 terlihat melorot. Hal2 seperti itu lho kok yo jd heboh, makanya biar ga penasaran tak kasih potonya jd silahkan di cermati baik2... #positifthinking


Kayanya bukan hal penting menurut saya jika yang di hebohkan pada ngomongin soal payudaranya agnez monica, tetapi yang terpenting adalah kualitasnya dia dalam membawa nama indonesia dalam dunia musik internasional. Mungkin banyak yang mengkritik tapi jika dilihat seberapa jauh  para pengkritik tersebut berkarya dalam hal-hal yang positif.
Share: