Di sebuah dusun kecil di Jawa Tengah, hiduplah seorang kakek tua yang bijak. Setiap pagi, ia duduk di beranda rumahnya, memandang gentong air yang retak di sudut halaman. Suatu hari, seorang backpacker muda bernama Danar singgah ke rumahnya.
"Kakek, kenapa gentong itu tidak diperbaiki atau dibuang? Lihat, airnya selalu tumpah," tanya Danar penasaran.
Sang kakek tersenyum. "Gentong ini mengajariku tentang urip. Kau mau mendengar ceritanya?"
Danar menganggap antusias. Ia tak menyangka, perjalanannya mencari destinasi eksotis justru akan membawanya pada pelajaran hidup yang dalam.
1. Gentong Retak dan Filosofi Nrimo Ing Pandum
Kakek mulai bercerita:
"Gentong ini retak, tapi justru karena retaknya, ia memberi kehidupan."
Setiap hari, air yang merembes dari retakan gentong menyuburkan tanah di sekitarnya. Tumbuhan kecil tumbuh subur, menarik kupu-kupu dan burung.
"Inilah nrimo ing pandum—menerima takdir dengan ikhlas. Kita mungkin tak sempurna, tapi justru 'retak' kita bisa memberi manfaat bagi sekitar."
Danar tercenung. Ia teringat betapa seringnya ia mengeluh tentang ransel yang terlalu berat atau kaki yang lecet. Padahal, perjalanan itu sendiri adalah hadiah.
2. Perjalanan ke Gunung Merapi: Memayu Hayuning Bawono
Esok harinya, Danar diajak kakek mendaki Gunung Merapi. Di tengah perjalanan, kakek memungut sampah plastik dan memasukkannya ke kantong.
"Kita harus memayu hayuning bawono—melestarikan keindahan dunia. Seorang traveler bukan hanya mengambil foto, tapi juga menjaga alam."
Danar pun teringat betapa sering ia abai membawa botol minum reusable. Sejak itu, ia berjanji akan lebih peduli pada lingkungan.
3. Malam di Pinggir Sawah: Sopo Nandur Bakal Ngunduh
Malam itu, mereka menginap di rumah petani. Sang petani bercerita tentang anaknya yang kini sukses di kota, berkat kerja keras menyelesaikan pendidikan.
"Inilah sopo nandur bakal ngunduh—siapa menanam, akan menuai. Perjalanan hidupmu adalah benih. Jika kau tanam kerja keras dan kebaikan, kau akan panen kebahagiaan."
Danar tersentuh. Ia sadar, petualangannya bukan hanya tentang jalan-jalan, tapi juga tentang menabung pengalaman untuk masa depan.
4. Air Terjun Grojogan Sewu: Ojo Dumeh
Di air terjun Grojogan Sewu, Danar bertemu seorang pendaki sombong yang meremehkan jalur pendakian. Tak lama, pria itu terpeleset karena tak hati-hati.
Kakek berbisik, "Ini ojo dumeh—jangan mentang-mentang. Jangan karena merasa kuat, lalu lupa bersikap rendah hati."
Danar tersenyum. Ia teringat saat ia pamer foto-foto perjalanannya di media sosial, seolah-olah dialah traveler terhebat. Kini ia sadar, kesombongan hanya akan membuatnya "terpeleset".
Sebelum berpisah, kakek memberi Danar gentong tanah liat kecil. "Bawa ini sebagai pengingat. Hidup itu seperti gentong: kadang retak, kadang penuh, tapi selalu punya cerita."
Danar pun melanjutkan perjalanan dengan hati baru. Ia tak lagi sekadar mengejar destinasi, tapi juga meresapi setiap pelajaran di jalan.
Dalam budaya Jawa, alam dan kehidupan adalah guru. Sebagai backpacker, kita bisa belajar:
Nrimo Ing Pandum: Terima ketidaksempurnaan, nikmati proses.
Memayu Hayuning Bawono: Jaga alam, jaga kebaikan.
Sopo Nandur Bakal Ngunduh: Tabur kebaikan, panen kebahagiaan.
Ojo Dumeh: Rendah hati, karena perjalanan adalah guru.
Jadi, traveler, seperti gentong sang kakek, biarkan "retak" hidupmu memberi arti bagi dunia.
"Lungguhmu neng endi, ngono jaga duniamu."
(Di mana pun kau berada, jagalah duniamu.)
0 komentar:
Posting Komentar