Seorang Presiden pada tanggal 10 November 1951 meletakkan batu pertama dari suatu rencana raksasa: Tugu Pahlawan, setinggi 45 meter. Batu itu ditancapkan di tengah-tengah Kota Surabaya, di sebuah tempat bekas reruntuhan gedung yang hancur dalam perjuangan mendirikan negara, di depan Kantor Gubernur Jawa Timur. Bersamaan dengan peletakan batu pertama itu ditanamkan juga sebuah piagam yang berbunyi:
Pada hari ini, Hari Pahlawan 10 November 1951, di Kota Surabaya, P.Y.M.Presiden Republik Indonesia Dr. Ir. Sukarno, dengan disaksikan oleh rakyat Indonesia di Surabaya, berkenan meletakkan batu pertama untuk mendirikanTugu Pahlawan guna memperingati pengorbanan Pahlawan-pahlawan Kemerdekaan Negara dan Bangsa Indonesia pada tanggal 10 November 1945.
Semoga Tugu ini, yang diselenggarakan atas nama penduduk Kota Surabaya oleh Kepala Daerah Kota Besar Surabaya, Dul Arnowo, menjadi peringatan rakyat Indonesia sehingga akhir zaman.
Presiden Republik Indonesia, Dr. Ir. Sukarno.
Gubernur Jawa Timur, Samadikun.
Walikota Surabaya, Dul Arnowo.
Tentu saja naskah piagam itu ditulis dalam bahasa Indonesia ejaan Soewandi (ejaan lama). Segera setelah upacara ini selesai, maka pekerjaan pembangunan Tugu Pahlawan mulai diselenggarakan. Dan pada tanggal 10 November 1952 Presiden yang sama meresmikan pembukaan Tugu Pahlawan itu, yang ternyata tingginya hanya 45 yard!
Seperti tertera di dalam piagam yang ditanam beserta batu pertama, maka sebagai pembawa cita-cita untuk mendirikan Tugu Pahlawan ini dapat disebutkan tokoh seorang kurus, bertubuh kecil, tetapi selalu ikut berjuang dalam kancah pertempuran Surabaya serta menjadi walikota Surabaya sejak kembalinya kedaulatan negara Republik Indonesia. Tokoh itu tidak lain adalah Dul Arnowo. Ia kecuali dikenal sebagai seorang warga kota yang “kawakan”, juga populer di kalangan pejuang di Jawa Timur. Dul Arnowo sudah sejak tanggal 2 September 1945 berprakarsa membentuk pemerintahan Kota Surabaya yang jadi bagian dari Negara Republik Indonesia proklamasi 17 Agustus 1945. Dul Arnowo yang pada zaman Jepang bekerja pada pemerintahan Surabaya Shi (kota) menjabat sebagai Ketua BPP (Badan Pembantu Prajurit) yang kantornya di Jalan Kaliasin (sekarang Basuki Rakhmat) 121, hari itu membentuk dua organisasi yang mewakili adanya pemerintahan Republik Indonesia yang merdeka. Organisasi itu adalah: BPKKP (Badan Penolong Keluarga Korban Perang) dan BKR (Badan Keamanan Rakyat). Ketua BPKKP, yang lebih mengurusi urusan administrasi (sipil) tata kota adalah Dul Arnowo (mantan Ketua BPP), wakil-ketuanya Mohamad Mangundiprodjo (mantan Daidancho Peta Buduran Sidoarjo). Sedang Ketua BKR adalah Drg. Mustopo (mantan Daidancho Peta Gresik), yang mengurusi soal pertahanan dan keamanan Kota Surabaya (dan Jawa Timur). Sangat penting tindak-tanduk Ketua BPKKP dan wakilnya, yaitu sama-sama menyadari bahwa untuk mempertahankan kedaulatan negara RI itu bukan saja diperlukan kekuatan bersenjata tapi juga dibutuhkan dana untuk membiayai perjuangan itu. NEGARA RI LAHIR TANPA MODAL SESEN PUN. MODALNYA HANYALAH SECARIK KERTAS TEKS PROKLAMASI KEMERDEKAAN SERTA SEMANGAT DAN TEKAD RAKYAT Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan negaranya (saya ketik huruf kapital, karena itu pernah terucap oleh Dul Arnowo ketika membentuk pemerintahan sipil di Surabaya, 2 September 1945). Modal materiel beserta segala piranti aparat pemerintah itu harus dicari sendiri oleh rakyat. BPKKP selaku aparat juga harus mencari dana itu. Dul Arnowo dan Mohamad Mangundiprodjo yang diserahi jabatan pada BPKKP harus berfikir keras berupaya mencari dana bagi perjuangan menegakkan negara. Dapat dicatat bahwa pencarian dana itu oleh Dul Arnowo dan Mohamad Mangundiprodjo akhirnya teratasi, yaitu dengan berhubungannya dengan Dr. Samsi Sastrawidagda (menjabat Menteri Keuangan kabinet RI pertama sebelum Mr. Maramis) yang memberi petunjuk bahwa di Bank Escompto di Surabaya tersimpan uang peninggalan pemerintah Hindia Belanda yang disita Jepang. Uang itu akhirnya digedor oleh Mohamad Mangundiprodjo, uangnya sebagian disumbangkan ke pemerintahan Pusat RI, selebihnya dijadikan dana perjuangan melalui organisasi Dewan Pertahanan Rakyat Indonesia di Surabaya, diketuai oleh Mohamad Mangundiprodjo. Maka tidak aneh kalau di Surabaya terdapat nama jalan yang besar bernama H.R.Mohamad Mangundiprodjo. Tapi agak aneh, tidak ada nama Jalan Dul Arnowo, yang ada hanyalah nama gang kampung, yaitu Genteng Arnowo. Padahal pemikir pemerintahan sipil di Surabaya yang pertama ketika merdeka adalah Dul Arnowo, dan yang menemukan dana perjuangan untuk pemerintahan Pusat RI dan perjuangan mempertahankan Kota Surabaya (sebagian uang juga dibawa ke Markas BKR Jawa Timur, markasnya Drg. Mustopo gedung HVA yang sekarang menjadi gedung PTP Jalan Merak) yaitu karena hubungannya dengan Dr. Samsi juga oleh Dul Arnowo. Dr. Samsi pada akhir pendudukan Jepang menjadi Kepala Kantor Tatausaha dan Pajak di Surabaya. Jadi sama-sama menjabat pemerintahan sipil di Surabaya bersama Dul Arnowo. Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 Dr. Samsi-lah pemimpin Surabaya yang pertama kali menemui Laksamana Shibata membicarakan masalah yang dihadapi Indonesia merdeka (buku Shibata Yaichiro “Surabaya After Surrender” 1986).
Cita-cita, pengabdian serta perjuangan Dul Arnowo terhadap NKRI berlanjut ketika menjadi walikota Surabaya 1951. Dialah yang berprakarsa mengganti nama-nama jalan di Surabaya yang sejak zaman Belanda hingga Jepang bernama nama-nama Belanda (lain waktu saya tulis soal nama-nama jalan di Surabaya ini). Dan lalu juga berprakarsa mendirikan Tugu Pahlawan ini.
Untuk lebih memberikan arti kepada Tugu yang hendak didirikan itu, diputuskan bahwa Tugu ditempatkan di bekas puing-puing reruntuhan Gedung Kenpeitai zaman Jepang. Bekas-bekas reruntuhan gedung ini pernah membawa penderitaan yang tidak gampang dilupakan para pejuang kemerdekaan dari zaman ke zaman. Sesudah menjadi gedung Raad van Justitie (gedung pengadilan) pada zaman Nederlands IndiĆ«, pada zaman Nippon menjadi markas Kenpeitai (polisi militer Jepang, di mana para patriot bangsa yang dianggap melawan Jepang ditawan dan disiksa, misalnya Ir Darmawan, tokoh ludruk Durasim). Dan pada saat meletusnya pertempuran 10 November 1945 gedung ini juga jadi pusatnya gerakan pemuda (PTKR = Polisi Tentara Keamanan Rakyat pimpinan Hasanudin Pasopati dan N. Suharyo Kecik), yang kemudian gedung tadi menjadi bulan-bulanan sasaran peluru mortir dan peluru meriam dari kapal laut, dan bom dari pesawat terbang Thunderbolt, keduanya bagian dari angkatan perang Inggris. Peristiwa ini pernah digambarkan dalam perangko-perangko Republik Indonesia yang beredar pada tahun-tahun pertama kemerdekaan. Dengan dibubuhi teks: Surabaya 10 November 1945. Termasuk perangko seri “pertempuran”
Pertempuran yang terjadi pada tempat itu bermula terjadi pada 30 September 1945 menjelang pagi 1 Oktober 1945 karena tekad pemuda-pemuda Surabaya untuk melucuti senjata tentara Jepang. Pelucutan senjata Jepang pada malam yang sama di tempat-tempat lain di Surabaya begitu lancar dan tidak menimbulkan pertempuran, hanya di Markas Kenpeitai itu dan Markas Kaigun (Angkatan Laut Jepang) di Gubeng Pojok yang memetik pertempuran dan makan kurban cukup banyak dari kedua belah pihak (pihak Indonesia dan pihak Jepang), dan baru tanggal 2 Oktober 1945 pertempuran selesai, atas hasil perundingan para pejabat. Markas Kenpeitai berhasil didamaikan atas perundingan antara Panglima Angkatan Darat Jawa Timur Jepang (Tobu Jawa Butai) Jenderal Iwabe dengan kelompok pejabat Jawa Timur Tentara Keamanan Rakyat pimpinan Drg Mustopo (Panglima TKR Jawa Timur, karena itu di Surabaya ada jalan Prof. Dr. Mustopo) di Markas Gedung HVA (sekarang Jalan Merak). Markas Kaigun berhasil didamaikan atas perundingan antara Laksamana Muda Laut Shibata dengan Ketua BKR Kota Surabaya Sungkono (karena itu di Surabaya ada jalan Majen Sungkono), di rumah Shibata Ketabang Boulevard (sekarang Jalan Jaksa Agung Suprapto; saya tidak tahu kaitannya Jaksa Agung Suprapto dengan Surabaya. Pernahkah ada yang meneliti?). Akhirnya pertempuran di Markas Kenpeitai Jepang yang lalu jadi Markas PTKR itu hanya meninggalkan reruntuhan-reruntuhan saja. Kebanggaan dan kemegahan kolonialisme hilang bersama hancurnya gedung yang beriwayat banyak menimbulkan kurban jiwa patriotis bangsa Indonesia.
Tugu Pahlawan, atau Perumahan Rakyat.
Cita-cita pendirian Tugu Pahlawan ini pada mulanya mendapat sanggahan juga dari beberapa kalangan di Kota Surabaya sendiri. Mereka beranggapan bahwa perumahan rakyat adalah usaha pertama-tama yang harus diwujudkan. Bukannya usaha mendirikan tugu. Tetapi cita-cita ini pun mendapat dukungan dari rakyat, dengan demikian rencana mendirikan Tugu Pahlawan bisa mulai dilaksanakan.
Seorang utusan berangkat ke Jakarta membawa sebuah rencana (ontwerp). Presiden tidak bisa menyetujui ontwerp itu dan menyarankan bentuk “paku” untuk Tugu Pahlawan yang bakal didirikan itu.
Kemudian seorang berbadan besar, berkacamata, meneruskan usaha pendirian Tugu ini, karena Walikota Dul Arnowo (Walikota Surabaya 1950-1952) dipindahkan ke Jakarta. Orang yang berbadan besar itu adalah Walikota Surabaya yang baru, bernama R.Mustajab Sumowidigdo (Walikota Surabaya 1952-1956), yang namanya kini juga diabadikan untuk menamai jalan di depan rumah dinas kediaman Walikota Surabaya, penggantian nama jalan diresmikan tahun 1973 oleh Walikota Surabaya R.Sukotjo (Walikota Surabaya 1965-1974). Jalan itu dulu (sejak zaman Belanda) mempunyai nama yang unik, tidak ada yang menyamai di seluruh dunia, yaitu Ondomohen. Ondomohen itu bukan bahasa Jawa, bukan bahasa Belanda. Tidak ada artinya dalam kedua bahasa itu, di kamus pun tidak ada. Jadi, kata Ondomohen di seluruh bahasa dunia artinya ya nama jalan di Surabaya itu. Oleh karena itu ketika Walikota Surabaya Dul Arnowo mengganti nama-nama jalan yang berbau bangsa atau bahasa Belanda tahun 1952, nama jalan Ondomohen tidak katut diganti. Ondomohen adalah bahasa Surabaya, milik orang Surabaya, khusus untuk nama Jalan Ondomohen di Surabaya.
Tentang mendirikan Tugu Pahlawan, oleh Walikota Surabaya yang baru, R.Mustajab, kemudian dikirimkan lagi utusan ke Jakarta untuk memperlihatkan dua belas ontwerp yang disusun menurut petunjuk-petunjuk Presiden. Pilihan terakhir jatuh kepada sebuah ontwerp, tetapi yang terakhir inipun mengalami perubahan-perubahan. Salah satu di antaranya: tiang bendera yang hendak dipancangkan di pucuk tugu harus dihilangkan.
Kerja Non-stop 40 Jam.
Dengan bantuan sepenuhnya dari jawatan-jawatan pemerintah seperti PJKA, Kantor Telepon, Jawatan Gedung-gedung, dan beberapa instansi swasta seperti Aniem (Perusahaan Listrik sebelum dinasionalisasi), BPM (sebelum dinasionalisasi jadi Pertamina), serta juga dari Angkatan Darat dan Angkatan Laut, penyelenggaraan pembangunan Tugu dimulai pada tanggal 20 Februari 1952.
Untuk pondasi saja harus digali tanah sebanyak 620 M3.
Pekerjaan ini lalu disusul dengan pengecoran beton untuk “werkvloer” seluas 247 M3 dengan tebal 6 cm. Beton yang disusun pakai perbandingan 1:3:6. Selesai pada tanggal 5 April 1952. Pekerjaan pengecoran beton oleh Balai Kota ini kemudian dilanjutkan oleh Indonesian Engineering Corporation, sebuah pemborong usaha nasional, untuk membuat pondasi.
Besi beton yang dihabiskan oleh pembuatan beton ini mencatat angka 19 ton. Sedang isi beton bertulang memakan campuran sebanyak 620 M3. Pekerjaan ini lalu disusul pengecoran beton dengan perbandingan 1:2:3. Oleh karena pengecoran harus diselesaikan sekali gus, maka untuk itu empat buah mesin pencampur beton harus dikerahkan, dengan tenaga 120 orang yang bekerja bergiliran selama 40 jam nonstop. Pekerjaan inipun selesai pada tanggal 3 Juni 1952.
Dari 45 Meter jadi 45 yard.
Juga IEC yang kemudian mendapat kepercayaan untuk mengerjakan Tugu hingga 30 meter. Sedang sisanya 11,3 meter diselesaikan oleh pemborong Sarojo. Rencana untuk mendirikan Tugu Pahlawan setinggi 45 meter sekarang ternyata tidak bisa dilaksanakan lagi. Ia cuma bakal setinggi 45 yard, atau 41,13 meter. Keadaan ini disebabkan karena rencana kekuatan Tugu setinggi 45 meter tidak terpenuhi. Kalau toh kekuatan ini harus disesuaikan dengan rencana lama, maka jangka waktu pengerjaan satu tahun yang diberikan itu tidak mungkin terpenuhi. Juga adanya peraturan-peraturan penerbangan menyebabkan rencana ini dikurangi jadi 45 yard saja. Terutama kalau ada penerbangan di waktu malam. Karena itu pada “mahkota” di atas tugu yang beratnya ditaksir tiga ton bakal dipasang lampu-lampu dan kaca merah.
Pembangunan bagian bawah Tugu yang mencapai tinggi 30 meter itu berakhir tepat pada tangggal 17 Agustus 1952, yaitu setelah dua bulan terus-menerus dikerjakan. Untunglah bahwa perhitungan-perhitungan dan perubahan menjadi 45 yard itu terjadi sesudah bagian bawah selesai dikerjakan. Hingga waktu itu sudah ada 70 orang pekerja dikerahkan. Pekerjaan pengecoran malahan meminta tenaga lebih banyak, sampai sejumlah 80 orang, tetapi hasil yang diberikan tidaklah seperti yang direncanakan. Setiap hari mereka cuma berhasil mengecor sebanyak 5 M3. Ini disebabkan karena makin tinggi memanjat, makin sukar pelaksanaan pengecorannya.
Kekurangan-kekurangan ini kemudian menimbulkan gagasan baru, yaitu untuk mempergunakan semacam “lift”. Menurut pendapat baru ini ternyata hasilnya naik, sehari menjadi 9 M3. Dan tinggi yang 30 meter itu pengecorannya selesai dalam tiga minggu.
Biayanya Cuma Setengah Juta.
Pekerjaan pembikinan bagian atas serta mahkota mengalami kesukaran-kesukaran sedikit, karena tenaga pekerja-pekerja jarang yang bisa dan berani memanjat setinggi itu. Walaupun upah sudah dinaikkan menjadi tiga kali atau empat kali lipat.
Menurut perhitungan terakhir pembuatan Tugu itu menelan sejumlah 170 M3 beton kricak, pasir dan pasir urug 530 M3 serta semen “Portland” (semacam Semen Gresik yang harus diimport, karena Semen Gresik baru dibangun 1958) 2408 bungkus. Biaya seluruhnya ditaksir Rp 500.000,00 yang didapat dari sumbangan-sumbangan para dermawan.
Kerja Acak-acakan Yang Abadi.
Tugu Pahlawan ini mempunyai 10 lengkungan (canalurus) pada badannya yang melambangkan tanggal 10. Sedang 11 bagian (gelindingen) di atasnya mengandung pengertian bulan ke 11 atau bulan November. Tinggi yang 45 yard itu dengan sendirinya menyatakan tahun 1945 sebagai tahun terjadinya pertempuran di Surabaya. Keistimewaan Tugu Pahlawan ini adalah bahwa di bagian dalamnya terdapat tangga yang melilit dindingnya untuk naik sampai puncaknya.
Hanya anehnya, beberapa saat setelah Tugu diresmikan pembukaannya, maka terjadi semacam “skandal” di dalam pembuatannya. Tugu itu di bagian tengah tampak miring dan tidak lurus. Penanggung jawab dari kecerobohan ini kabarnya ditimpakan kepada IEC. Sampai kemudian menjadi rahasia umum di Surabaya, bahwa Tugu Pahlawan itu bakal dibongkar kembali untuk mendapat perbaikan seperlunya.
Tetapi, inipun tidak pernah ada kenyataannya. Tugu Pahlawan itu tetap miring di tengah, dan tetap tidak dibongkar. Keabadian miringnya Tugu Pahlawan merupakan peringatan hasil kerja acak-acakan. Semoga dijadikan suri teladan untuk para penguasa kota yang kemudian, agar kerja acak-acakan seperti itu jangan terjadi lagi, jangan terulang lagi. Untuk mengerjakan “proyek” hendaknya direncanakan sejak ontwerpnya, pembeayaannya, sampai penjadwalan pengerjaannya. Waktu pengerjaan Tugu Pahlawan dulu, memang belum ada perencanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah seperti sekarang. Semoga adanya APBD-APBN menjadikan pembangunan bangsa dan negara menjadi lebih baik daripada zaman 1950-an.
Menurut catatan, “Rencana Ongkos Pembikinan Tugu Pahlawan” waktu itu ialah Rp 400.000,00. Dana diperoleh dari pungutan pada masyarakat. Penerimaan kas dari pungutan sampai dengan tanggal 5 November 1952 baru terkumpul Rp 335.486,66. Yaitu sumbangan-sumbangan (ketika itu disebut “bantuan”) dari Grosier2 beras Rp 116.450,00; “Persatuan Kaum Ibu” Rp 15.500,00; Pasar Malam PMI-Phin Lauw Yuan Rp 4.343,80; Lingkungan Pacarkeling Rp 229,60; Panitya Penyelenggara Pertandingan Armada India Rp 494,00; Pemohon2 memasukkan beras dari luar daerah Rp 15.530,67 (tapi yang Rp 4.450,00 akan diminta kembali oleh pemohon2 itu karena permohonannya tidak diijinkan); Persibaya (waktu itu belum Persebaya) Rp 4.428,60; Sepakbola Lebaran Rp 60,90; Hadiah Bung Karno Rp 10.000,00; dari khalayak ramai melalui suratkabar “Suara Rakyat” Rp 1.875,00; Hadiah Bu Samadikun Jl. Pahlawan 7 (isteri Gubernur Jatim) Rp 100,00; sumbangan Perkumpulan “Gie Hoo” Rp 170,75; Jawatan Pelabuhan Surabaya Rp 78,60; stamvergunninghouders beras Rp 145.071,13; dari “Penjualan Kupon” Rp 20.870,61; Ikatan Pegawai Negeri di Penataran Angkatan Laut Surabaya Rp 70,00; sumbangan A. Djalil M.E.T.P. Riouw Udjung Jakarta, Rp 10,00; R. Sastromihardjo Kepala Setasiun Tarik Rp 28,00; Inspeksi Kesehatan Rp 175,00; . Jumlahnya belum mencapai “rencana ongkos”, tapi dalam laporan kas itu disebutkan bahwa dari “Penjualan Kupon” ditaksir akan diterima lagi Rp 45.000,00 dan dari Stamvergunninghouders beras sampai dengan ultimo November 1952 akan diterima lagi Rp 30.000,00; sehingga ditaksir akan diterima seluruhnya Rp 410.486,66. Sampai dengan 5 November pengeluaran yang sudah dilaporkan baru sampai Rp 196.231,30. Antara lain “perongkosan2 ke Jakarta” tiga kali jumlahnya Rp 4.500,00; tapi oleh utusan2 itu dikembalikan Rp 1.000,00 kepada panitia. Laporan atau balans itu ditandatangani oleh Bendahara Tugu Pahlawan Surabaya, R. Soetarto dan Ketua R. Moestadjab Soemowidigdo.
Comments
Post a Comment