Pak Anwar, Pahlawan veteran perang indonesia yang diolok-olok di sosial media karena menjadi pengemis
Berikut adalah kisah singkat Pak Anwar yang saya ambil dari Blog Komunitas Cinta Pejuang Indonesia
SENIN 28 Juli 2008, Simpang Potong, Kota Padang. Sebentuk tubuh tua ringkih, tampak terduduk lesuh. Tanpa alas di atas trotoar berwarna coklat. Tubuhnya hanya terbungkus kemeja buram. Kepalanya, juga tertutup kopiah hitam yang tampak sudah digerogoti usia. Kopiah itu, seolah setia menutupi rambutnya yang memutih.
Lelaki tua itu bernama Anwar berumur 94. Tanah Kuranji adalah tempat pertama yang menyambut kelahiran Anwar. Wajahnya keriput, dipenuhi bulu-bulu kasar berwarna abu-abu. Dengan gigi yang hanya tinggal dua, mulut Pak tua tampak komat-kamit, menyeringai. Sesekali, tangannya menengadah, pada setiap manusia yang berlalu. Berharap belas kasihan dan secarik uang untuk pengisi perutnya yang mulai minta diisi. Namun semua tampak acuh. Anwar tak putus asa, tangannya semakin dijulurkan.
Anwar tak punya rumah. Hidupnya hanya numpang di rumah warga Koto Baru, orang yang berbaik hati menampung tubuh ringkihnya. Hidup sendirian di hari tua ternyata membuat Anwar harus mengalah pada kerasnya dunia. 10 tahun sudah Anwar jadi pengemis. Hanya menengadahkan tangannya, itulah cara Anwar bertahan hidup. Maklum, usia yang hampir satu abad tak ada yang bisa dikerjakannya. Tulangnya rapuh.
Jangan tanyakan keluarga pada Anwar, sebab, itu hanya akan membuatnya menangis. “Saya tak punya keluarga. Istri saya sudah meninggal tahun 1960. Bersama bayi yang dikandungnya. Mati karena kurangnya gizi,” terang Anwar. Air mata bening menjalar di pipi keriputnya.
Tak seperti pengemis lainnya, yang kebanyakan terbelakang dan tak pernah mengenyam pendidikan. Anwar lain. Tiga bahasa asing, Bahasa Jepang, Ingris dan Belanda dikuasainya. Bahkan waktu berdialog dengan POSMETRO sesekali lontaran ucapan berbahasa Belanda pun diucapkannya. Anwar fasih, lidah tuanya seakan sudah biasa melafazkan ucapan bahasa asing tersebut.
Semakin penasaran dengan “Pak Tua Simpang Potong” itu, Penulis pun mulai menjejeri langkah Anwar. Mencoba mengorek lebih dalam tentang dirinya. Siapa gerangan Anwar, sudah rapuh tapi kuasai tiga bahasa? Ada sesuatu cerita tersembunyi dari lembar hidup Pak tua dan itu membuat hasrat penasaran penulis kambuh!. Dua hari menyatroni Anwar di simpang Potong, akhirnya Penulis tahu kalau Anwar bukan pengemis sembarangan. Catatan sejarah terpampang dari celoteh Pak Tua itu.
Memang sekarang Anwar hanyalah pengemis tua yang menyedihkan. Hidupnya tak tentu arah. Tapi, jika merunut sejarah “tempoe doeloe” Anwar adalah pemuda gagah yang ikut mengokang senjata melawan para penjajah. Pangkat yang disandang Anwarpun tak main-main, Letnan Satu, Komandan Kompi 3 Sumatra Bagian Selatan. Itulah daerah Anwar waktu menjabat sebagai serdadu bangsa untuk mengusir penjajah. Bukankah luar biasa “si Anwar Muda”?.
“Saya bekas tentara Sumatra Selatan. Di bawah pimpinan Bagindo Aziz Chan saya menjadi komandan Kompi 3 untuk berpetualang, melintasi medan demi menyerang Belanda. Tak terkira berbagai kisah pilu yang saya alami saat perang bergejolak. Tapi, untuk bangsa itu semua belum apa-apa. Hanya satu hal yang membuat kami bangga waktu pulang dari medan perang. Bangga jika membawa topi serdadu Belanda, itu jadi kebanggaan tersendiri dan membuat kita merasa terhormat,”ulas Anwar menatap kosong.
Lubang kecil bekas hantaman peluru yang menghiasi kaki kananya, menjadi bukti keikutsertaan Anwar berjuang untuk bangsa. “Kaki ini ditembus peluru di Jalan Jakarta (sekarang bernama Simpang Presiden). Waktu itu hari masih pagi. Bangsa kita baru saja membuat perjanjian dengan Belanda (Perjanjian Linggar Jati). Tapi Aziz Chan menentang perjanjian itu. Belanda marah dan mengamuk. Menyerang membabi buta di tengah Kota. Hasilnya, ya kaki ini kena tembak waktu mau pulang ke Posko,” terang Anwar.
Bukan sekali Anwar kena tembak, bahkan, pengap dan lembabnya dinding jeruji besi pun telah dua kali Anwar rasai. “Empat tahun saya dibui. Tertangkap waktu bergerilya, dari Padang dengan tujuan Payokumbuah yang waktu itu (tahun 1946) sedang bergejolak. Tapi sial, melewati Padangpanjang saya tertangkap Belanda. Waktu itu, peluru habis sementara kaki saya masih terbalut secarik kain yang menutupi lubang timah panas. Saya digiring, kaki dirantai, diberi golongan besi, “ungkap Anwar mencoba merunut kembali petualangan masa lalunya.
Di Panjang Panjang, Anwar diperlakukan tak senonoh oleh tentara Belanda. Hantaman bokong senjata, sayatan belati sampai minum air kencing “sang meneer” pun hampir tiap hari menyinggahi kerongkongan Anwar. Namun Sang Letnan tetap tegar. Kepalanya tetap tegak, walau kucuran darah dari pelipisnya tak pernah berhenti.
“Penjara dulu, bukan seperti sekarang. Dulu, tangan di ikat kawat berduri, kaki di ikat dengan rantai yang diberi golongan besi. Saban hari kena pukul. Bahkan, Untuk minum, mereka memberi air putih yang di campur kencing,”celoteh Anwar.
Soal Nasiolisme, Anwar bak “Si Naga Bonar” walau tua tapi kecintaannya pada Indonesia tak pernah surut. Terus berkobar. “Saya pernah ditanya belanda, apakah saya berjuang dan jadi tentara karena hanya sekedar kedudukan dan jabatan semata?. Saya jawab aja apa adanya, “Aku berjuang untuk Negara, bukan kedudukan. Bila kelak aku mati di sini. Aku bangga, karena itu demi negara,”ulas Anwar mengingat kembali peristiwa hidup yang masih segar dalam ingatannya.
Kemerdekaanpun sepenuhnya diraih Indonesia. Namun tak begitu bagi Anwar, tak ada penghargaan yang diterimanya. Pengorbanan dan perjuangannya yang dikibarkannya seorang Anwar seakan dilupakan. Anwar hilang di tengah gegap gempita eforia kemerdekaan. Ditambah kematian istri, seolah pembawa petaka. Anwar kehilangan semangat hidup. Sempat terjerumus ke dunia hitam. Anwar tobat. Tapi, hidup memang tak pernah berpihak pada Anwar. Semakin terlunta-lunta. Hingga jalan sebagai pengemispun jadi pilihan terakhirnya.
Tak ada tanda jasa, tak ada lencana penghormatan yang diterima Anwar dari Pemerintah. Bahkan gelar pahlawan veteranpun tak singgah pada Anwar. “Saya tak butuh apapun. Dulu, saya berjuang bukan untuk mendapatkan tanda jasa. Saya berjuang untuk negara. Tak perlu tanda jasa apalagi uang. Biarlah hidup begini, asal tak menganggu orang lain. Saya rela. Memang, angkatan saya yang ikut mengangkat senjata kebanyakan tenang dan menjalani masa tuanya dengan glamauran harta. Saya tak suka itu, bagi saya berjuang bukan untuk kemapanan masa tua, tapi untuk kemerdekaan bangsa. Biarlah orang memandang saya hina. Asal saya bisa tenang. Biarlah hanya makan sehari yang penting bangsa ini merdeka,”jawab Anwar tegar, segera berdiri, pergi minta segelas air kepada pedagang di depan Masjid AL-Mubarah, Sawahan.
Hari ini , Jumat (1/8) Penulis kembali berniat menemui Anwar. Namun, “Sang Letnan” menghilang dari Simpang Kandang. Dua onggok batu yang biasanya jadi sandaran Anwar kehilangan tuannya. Anwar raib. Padahal hari masih pagi, jarum jam baru berada di angka sembilan. Kemana Anwar?.
Kecewa dengan hilangnya Anwar, penulis mencoba menelusuri RTH (Ruang Terbuka Hijau) Imam Bonjol. Tempat biasanya Anwar tidur ketika penat datang mendera tubuh rentanya. Benar juga, tubuh renta Anwar tergolek diantara rumpun hijau Imam Bonjol. Namun ada yang lain dari penampilan Anwar hari ini. Bajunya tak hanya buram seperti kemarin, tapi lebih parah, kemeja biru yang dipakainya sudah tak berbuah. Mempertontonkan tulang-tulangnya yang kelihatan menonjol dibalut kulit keriput. Perutnya kempis. Sandalnyapun berlainan warna, hijau dan biru berbalut seutas tali plastik warna putih.
Mencoba mendekat, ternyata Anwar tertidur. Dadanya terlihat turun naik beraturan, membusung. Tulang dadanya semakin menonjol. Perlahan mata Anwar terbuka. Sesaat pandangannya kosong. “Tadi Saya pingsan nak, perut lapar. Padahal saya belum dapat apa-apa. Saya tak kuat berdiri. Untunglah ada seorang tukang becak yang kasihan pada saya. Membelikan saya sebungkus nasi telur. Tapi badan ini masih lemas,”erang Anwar lesuh.
Seperti sebelumnya, Walaupun tubuh rentanya masih lemah, Anwar tetap bercerita panjang lebar tentang kerasnya hidup yang dilewatinya selama 10 tahun hidup dijalanan. “Saya hanya kuat berdiri di simpang ini sampai pukul 11 siang. Tubuh ini sudah terlalu tua untuk lama-lama berdiri. Matahari terlalu garang. Berlainan benar waktu muda dulu, beratnya medan tempur selalu bisa saya taklukkan. Ah, sampai kapan tubuh ini bisa bertahan menunggu kepingan logam. Saya tak tahu,”Anwar menerawang.
Perlahan, rentetan-rentetan kehidupan Anwar mulai terkuak. Celoteh panjang Anwar menguak tabir tersebut. Rupanya, Anwar juga pernah menjadi awak kapal barang berbendera Jerman. Lulus di Sekolah Sembilan (Belakang Tangsi) tahun 1930. Anwar mulai berpetualang. Dari tahun 1932 sampai 1939 Anwar berlayar. Dalam kurun waktu itu tak sedikit keragaman budaya yang dilihat Pak Tua.
“Saya lulus sekolah Belakang Tangsi 1930. Selanjutnya berlayar tujuh tahun mengelilingi Asia sampai ke Australia. Kemudian pulang untuk berjuang. Saya tak mau bersenang-senang di atas Kapal, sementara Bangsa kita sedang berjuang merebut kemerdekaan. Naluri kebangsaanlah yang memanggil jiwa ini untuk ikut berjuang,”terang Anwar.
Anwar berpetualang, menyelusuri setiap pelosok Tanah Indonesia untuk berjuang mengusir Sang Meneer dari Indonesia. Awalnya hanya bermodalkan bambu runcing. Anwar akhirnya mendapatkan senjata rampasan dari tentara Belanda. Senjata ditangan, Anwar muda mulai merengsek. Memuntahkan pelurunya di barisan terdepan pejuang Indonesia.
“Pada awalnya tak ada senjata. Kami hanya bermodalkan bambu. Namun, dari tangan belanda yang berhasil kami bunuh, kami nisa memperoleh senjata. Dengan itulah kami menyerbu musuh. Mengambil topinya sebagai “cinderamata” dari medan tempur,”lanjut Anwar.
Hingga Akhirnya Indonesia merdeka. Belanda pergi dari tanah Bangsa. Tentu, kemerdekaan itu adalah hasil perjuangan pahlawan kita. Termasuk Si Anwar yang berjuang di dua episode perang tersebut. Anwar bertarung dengan gagah. Namun apa yang didapatkan sang Letnan?. Hingga detik ini Anwar masih berstatus pahlawan bangsa yang terabaikan. Pahlawan yang menyongsong hari tuanya dengan melakoni profesi sebagai pengemis. Indonesia merdeka, namun Anwar masih tetap “terjajah oleh hidup”!!.
Memang, dulu Anwar pernah diberi secarik kertas bertuliskan penganugrahan sebagai pejuang oleh Pemerintah. Namun karena jalan hidupnya yang sering berpindah tempat “surat wasiat” itu raib entah kemana. Padahal, surat itu adalah sebagai landasan Anwar untuk menerima haknya sebagai Veteran.
“Memang dulu saya diberi surat oleh Pemerintah. Kalau tak salahnya surat Bintang Grelya. Tapi surat itu sudah hilang. Kata orang surat itu adalah syarat untuk menerima tunjangan dari pemerintah. Tapi tak apalah, saya juga tak perlu itu. Kan sudah saya katakan kalau saya berjuang bukan untuk uang apalagi jabatan. Walaupun meminta-minta tapi saya tak menyusahkan orang lain. Saya sudah pernah hidup senang di atas kapal. Sekarang saatnya susah. Hidup seperti roda nak. Kadang di bawah. Sekali lagi, saya berjuang untuk Indonesia. Melihat Merah Putih berkibar tanpa gangguan itu adalah suatu kebanggaan tersendiri. Tak ada yang membuat saya bahagia kecuali melihat kibaran bendera Indonesia,”celoteh Anwar.
Letnan Kolonel Anwar, pahlawan bangsa kini tak ubah hanyalah tubuh tua dekil, tak ada yang peduli. Anwar semakin pupus di tengah sibuknya Kota Bengkuang. “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para Pahlawannya” kata Bung Karno. Namun itu hanyalah barisan kata, bukan kenyataan. Tak percaya? tanyakan itu semua pada Anwar. Pahlawan kita yang hinggga saat ini masih menengadahkan tangan untuk bertahan hidup.Memang Anwar tak minta apa-apa dari perjuangannya. Tapi, apakah kita tega melihat orang yang melepaskan kita dari jeratan penjajah harus terlunta. Mengemis untuk hidup. Tanah kemerdekaan yang kita pijak adalah hasil dari muntahan peluru Pahlawan mengusir penjajah. Namun kenapa kita menutup mata untuk itu. Apakah rasa penghormatan kepada para Pahlawan sudah pudar dihantam terjangan zaman. Sekali lagi, jangan lupakan Anwar yang telah gigih perjuangkan bangsa. Pemerintah? mungkin lupa juga akan nasib Sang Kapten.
Terhitung sejak bulan Januari 2008 lalu, sesuai dengan keputusan Presiden RI dalam kongres Veteran ke-7 tahun 2007. Sebanyak 5.134 veteran yang ada di Sumbar akan mendapat tunjangan dana kehormatan senilai Rp. 250.000. Penghargaan terhadapperjuangan yang mereka lakukan dalam membela Indonesia sekaligus sebagai figur yang turut andil dalam merebut kemerdekaan bangsa ini. Namun, bagaimana dengan Anwar?. Sang Letnan yang tak mendapat apapun dari perjuangannya?.
Pembaca tentu masih ingat dengan Anwar?. Letnan Satu yang kisahnya Penulis angkat menjadi tulisan bersambung dalam tiga edisi. Dia (Anwar) masih seperti dulu. Menengadahkan tangannya untuk mencari sesuap nasi. Di Simpang Potong, Anwar masih berkutat dengan riak kemelaratan. Kecuali hari Sabtu dan Minggu, Anwar pasti ada di Simpang Potong.
Di saat teman-teman seperjuangannya berbahagia dengan tunjangan-tunjangan yang didapatkan untuk mengisi hari tuanya. Anwar malah terabaikan. Bahkan Ketua LVRI Sumbar (Legium Veteran Republik Indonesia) Drs H Adrin Kahar Ph .D secara tegas mengungkapkan kalau Anwar belum tentu pejuang. Mungkin saja, dengan mengatas namakan pejuang, Anwar berniat untuk mengeruk keuntungan.
“Secara terang-terangan saya mengungkapkan kalau Anwar belum tentu Veteran. Kalau emang dia veteran, pasti dia punya nomor legium veteran atau surat-surat yang menyatakan dia pejuang. Contohnya, surat Bintang Gerilya. Tapi kenyataannya tak ada kan?. Kami (LVRI) selalu memperjuangkan hak-hak veteran. Tapi yang kami perjuangkan itu adalah mereka yang nyata ikut berjuang. Pembuktiannya, ya dengan surat keterangan,” tegas Sang Ketua.
Kata-kata LVRI seakan menjadi cambuk bagi Anwar. Anwar tenggelam. Keputus asaan seolah semakin kuat melekat. Sudah pasti, tak akan ada penghargaan ataupun tunjangan yang akan diterima Anwar. Minim lencana Veteran. Anwar semakin kuat menapak di atas trotoar panas. Memang, Anwar tak punya apa-apa untuk “diperagakan” kepada Pemerintah kalau dia adalah bekas pejuang kemerdekaan dua periode. Semua surat-surat Anwar hilang. Maklum, semenjak istrinya meninggal, Anwar tak punya rumah. Hidupnya hanya numpang.
“Biarlah orang bicara saya bukan pahlawan. Tapi sejarah tak dapat dipungkiri. Dari dulu saya bilang kalau saya tak butuh tunjangn gono-gini. Saya hanya ingin melihat kibaran merah putih tanpa gangguan serta hanya butuh sesuap nasi untuk makan. Itu sudah cukup,”ulas Anwar untuk kesekian kalinya pada Penulis.
Jam sudah menunjukkan angka 12 siang. Matahari semakin panas. Dengan langkah tertatih Anwar mulai meninggalkan dua onggok bata yang jadi topangan tubuhnya. Anwar melangkah menuju simpang Alang Laweh. Menaiki Angkot jurusan Mato Aia, Anwar menuju rumah tumpangannya.
Rasa keingin tahuanlah yang menyeret langkah penulis untuk mengikuti mobil angkot biru tumpangan Anwar. Terus menguntit, akhirnya angkot berhenti di depan rumah bercat putih. Bangunan sederhana yang terletak di Kelurahan Koto Baru, Kecamatan Lubuak Bagaluang, Padang. Rumah mungil yang bersebelahan dengan bengkel variasi mobil. Itulah kediaman Anwar sejak tahun 1975.
Sang empunya rumah, Shally (50) menyambut kedatangan Anwar dengan cemas. “Pak Gaek (panggilan Anwar) memang kurang enak badan, kami sudah melarangnya pergi kerja tapi wataknya sangat keras. sulit sekali melarangnya pergi,”terang Shally dengan wajah ragu.
Anwar tampak mengaso di atas sofa yang sudah lusuh. Mencoba menetralisir kembali nafasnya yang turun naik. Sementara Anwar mengaso, POSMETRO mencoba bercakap dengan Shally, orang yang berbaik hati menampung Anwar.
Wajah ramah Shallypun tampak mengerut, mencoba mengingat hari pertama Anwar datang ke rumah sederhananya. Sesat berpikir, akhirnya Shally mulai bercerita. Tarikan panjang nafasnya, memulai penuturan itu.
“Pak gaek datang awal 1975, bersam seorang temannya bernama Rustam (telah meninggal). Mereka adalah sahabat Ayah saya. Ayah bernama (Syamsudin). Ayahlah yang pertama memperkenalkan pak gaek dengan kami. Mereka adalah tiga sekawan yang tak dapat dipisahkan. Namun, akhirnya, ajal merenggut bapak dan Rustam. Tinggalah Pak Tua sendirian. Kami sudah menganggapnya bagian keluarga sendiri,”celoteh Shally melirik “Pak Gaek” yang menyeruput segelas air putih.
Rumah Shally memang sangat sederhana. Cat putihnya sudah terkelupas, dihuni empat keluarga. Ditambah Anwar, rumah itu kelihatan penuh sesak!. Tak hanya itu, ternyata, Label RTM (Rumah Tangga Miskin)pun tertempel di jendela rumah tersebut. Maklum, dengan empat keluarga, hanya suami Shally, Mak Tum (52) yang menjadi tulang punggung keluarga. Mak Tumpun hanyalah pekerja bengkel di Simpang Nipah. “Suami membuka bengkel kecil-kecilan. Kami termasuk penerima bantuan BLT dari Pemerintah. Kami juga hidup dengn sederhana. Tapi kedatangan pak gaek bukan beban bagi kami. Malah, kami bahagia. Pak Gaek sering mengajarkan bahasa Inggris dan jepang pada anak-anak,”tambah Shally.
Menurut Shally, di hari Tua-nya Pak Gaek tak pantas mengemis. “Pak Gaek adalah seorang pahlawan. Tapi dia seakan terabaikan. Saya pernah mengurus bantuan Veterannya, tapi tak ada hasil. Pak gaek luar biasa, dia bisa tiga bahasa. Bahkan dia juga bahasa jawa dan batak. Saya percaya dia pahlawan Walaupun hanya dengar cerita dari mendiang Ayah dan Pak Rustam. Tapi kenapa Pak Gaek terabaikan,”lemah Shlly menutur.
Ah, dunia memang terlalu kejam buat sang Letnan. Jeritan sepatah iklan TV Swasta menglir ditelinga Penulis. “Tanah yang Kita Pijak adalah bukti dari perjuangan Pahlawan yang membentuk kita menjadi manusia merdeka. Pahlawan yang bertamengkan rasa nasionalisme yang tinggilah semua ini tercipta. Hargai Pahlawan, sebagai peringatan tertinggi buat mereka. Kita bangsa besar, lahir dari cipratan darah sang revolusioner. Bangga ku dengan perjuanganmu”. Memang mungkin itu hanya sebaris iklan. Hanya perkataan belaka. Kalau itu kenyataan, mengapa hingga detik ini Anwar semakin murung?. Kapan secerca harapan menghmpiri tubuh ringkihnya, sementara pintu ajal semakin menganga menyambut kedatangan Sang Letnan.
Tetapi yang terjadi beberapa waktu lalu, foto ini sempat menjadi bahan olok-olokan di forum sosmed. Saya sebenarnya sangat tidak setuju dengan prilaku konyol itu. Miris memang melihat seseorang yang di masa lalu sangat berjasa bagi bumi pertiwi tercinta … namun dimasa tuanya beliau harus menjalani hari-hari yang lebih sulit daripada masa-masa sebelum kemerdekaan ditambah lagi gambar mereka di jadikan bahan guyonan di jejaring sosial.. Bahkan dulu beliau sempat di tawari pangkat yang lebih tinggi oleh pemerintah belanda .. tapi ternyata beliau menolak karena rasa cintanya akan tanah air .. Seharusnya kita sebagai generasi muda tau diri dalam bertindak, apakah di jaman modern sekarang ini rasa hormat kepada orang tua semakin hilang??
Tetapi sekarang beliau sudah tiada, beliau sudah tenang di alam sana.. Mari kita doakan bersama-sama untuk ketenangan beliau disana. Kita patut berbangga dengan perjuangan Bpk. Anwar yang dulu berani mengorbankan nyawa dalam membela negara tercinta ini. Sudah sepantasnya yang mengedit gambar tersebut tau dan melihat diri sendiri dengan apa yang telah dilakukannya, dan menjadi pelajaran juga bagi kita untuk saling menghormati orang lain dan menjadikan diri kita generasi muda yang lebih baik.
" Bangsa yang besar adalah bangsa yg menghormati dan menghargai pahlawanya." - Soekarno
SENIN 28 Juli 2008, Simpang Potong, Kota Padang. Sebentuk tubuh tua ringkih, tampak terduduk lesuh. Tanpa alas di atas trotoar berwarna coklat. Tubuhnya hanya terbungkus kemeja buram. Kepalanya, juga tertutup kopiah hitam yang tampak sudah digerogoti usia. Kopiah itu, seolah setia menutupi rambutnya yang memutih.
Lelaki tua itu bernama Anwar berumur 94. Tanah Kuranji adalah tempat pertama yang menyambut kelahiran Anwar. Wajahnya keriput, dipenuhi bulu-bulu kasar berwarna abu-abu. Dengan gigi yang hanya tinggal dua, mulut Pak tua tampak komat-kamit, menyeringai. Sesekali, tangannya menengadah, pada setiap manusia yang berlalu. Berharap belas kasihan dan secarik uang untuk pengisi perutnya yang mulai minta diisi. Namun semua tampak acuh. Anwar tak putus asa, tangannya semakin dijulurkan.
Anwar tak punya rumah. Hidupnya hanya numpang di rumah warga Koto Baru, orang yang berbaik hati menampung tubuh ringkihnya. Hidup sendirian di hari tua ternyata membuat Anwar harus mengalah pada kerasnya dunia. 10 tahun sudah Anwar jadi pengemis. Hanya menengadahkan tangannya, itulah cara Anwar bertahan hidup. Maklum, usia yang hampir satu abad tak ada yang bisa dikerjakannya. Tulangnya rapuh.
Jangan tanyakan keluarga pada Anwar, sebab, itu hanya akan membuatnya menangis. “Saya tak punya keluarga. Istri saya sudah meninggal tahun 1960. Bersama bayi yang dikandungnya. Mati karena kurangnya gizi,” terang Anwar. Air mata bening menjalar di pipi keriputnya.
Tak seperti pengemis lainnya, yang kebanyakan terbelakang dan tak pernah mengenyam pendidikan. Anwar lain. Tiga bahasa asing, Bahasa Jepang, Ingris dan Belanda dikuasainya. Bahkan waktu berdialog dengan POSMETRO sesekali lontaran ucapan berbahasa Belanda pun diucapkannya. Anwar fasih, lidah tuanya seakan sudah biasa melafazkan ucapan bahasa asing tersebut.
Semakin penasaran dengan “Pak Tua Simpang Potong” itu, Penulis pun mulai menjejeri langkah Anwar. Mencoba mengorek lebih dalam tentang dirinya. Siapa gerangan Anwar, sudah rapuh tapi kuasai tiga bahasa? Ada sesuatu cerita tersembunyi dari lembar hidup Pak tua dan itu membuat hasrat penasaran penulis kambuh!. Dua hari menyatroni Anwar di simpang Potong, akhirnya Penulis tahu kalau Anwar bukan pengemis sembarangan. Catatan sejarah terpampang dari celoteh Pak Tua itu.
Memang sekarang Anwar hanyalah pengemis tua yang menyedihkan. Hidupnya tak tentu arah. Tapi, jika merunut sejarah “tempoe doeloe” Anwar adalah pemuda gagah yang ikut mengokang senjata melawan para penjajah. Pangkat yang disandang Anwarpun tak main-main, Letnan Satu, Komandan Kompi 3 Sumatra Bagian Selatan. Itulah daerah Anwar waktu menjabat sebagai serdadu bangsa untuk mengusir penjajah. Bukankah luar biasa “si Anwar Muda”?.
“Saya bekas tentara Sumatra Selatan. Di bawah pimpinan Bagindo Aziz Chan saya menjadi komandan Kompi 3 untuk berpetualang, melintasi medan demi menyerang Belanda. Tak terkira berbagai kisah pilu yang saya alami saat perang bergejolak. Tapi, untuk bangsa itu semua belum apa-apa. Hanya satu hal yang membuat kami bangga waktu pulang dari medan perang. Bangga jika membawa topi serdadu Belanda, itu jadi kebanggaan tersendiri dan membuat kita merasa terhormat,”ulas Anwar menatap kosong.
Lubang kecil bekas hantaman peluru yang menghiasi kaki kananya, menjadi bukti keikutsertaan Anwar berjuang untuk bangsa. “Kaki ini ditembus peluru di Jalan Jakarta (sekarang bernama Simpang Presiden). Waktu itu hari masih pagi. Bangsa kita baru saja membuat perjanjian dengan Belanda (Perjanjian Linggar Jati). Tapi Aziz Chan menentang perjanjian itu. Belanda marah dan mengamuk. Menyerang membabi buta di tengah Kota. Hasilnya, ya kaki ini kena tembak waktu mau pulang ke Posko,” terang Anwar.
Bukan sekali Anwar kena tembak, bahkan, pengap dan lembabnya dinding jeruji besi pun telah dua kali Anwar rasai. “Empat tahun saya dibui. Tertangkap waktu bergerilya, dari Padang dengan tujuan Payokumbuah yang waktu itu (tahun 1946) sedang bergejolak. Tapi sial, melewati Padangpanjang saya tertangkap Belanda. Waktu itu, peluru habis sementara kaki saya masih terbalut secarik kain yang menutupi lubang timah panas. Saya digiring, kaki dirantai, diberi golongan besi, “ungkap Anwar mencoba merunut kembali petualangan masa lalunya.
Di Panjang Panjang, Anwar diperlakukan tak senonoh oleh tentara Belanda. Hantaman bokong senjata, sayatan belati sampai minum air kencing “sang meneer” pun hampir tiap hari menyinggahi kerongkongan Anwar. Namun Sang Letnan tetap tegar. Kepalanya tetap tegak, walau kucuran darah dari pelipisnya tak pernah berhenti.
“Penjara dulu, bukan seperti sekarang. Dulu, tangan di ikat kawat berduri, kaki di ikat dengan rantai yang diberi golongan besi. Saban hari kena pukul. Bahkan, Untuk minum, mereka memberi air putih yang di campur kencing,”celoteh Anwar.
Soal Nasiolisme, Anwar bak “Si Naga Bonar” walau tua tapi kecintaannya pada Indonesia tak pernah surut. Terus berkobar. “Saya pernah ditanya belanda, apakah saya berjuang dan jadi tentara karena hanya sekedar kedudukan dan jabatan semata?. Saya jawab aja apa adanya, “Aku berjuang untuk Negara, bukan kedudukan. Bila kelak aku mati di sini. Aku bangga, karena itu demi negara,”ulas Anwar mengingat kembali peristiwa hidup yang masih segar dalam ingatannya.
Kemerdekaanpun sepenuhnya diraih Indonesia. Namun tak begitu bagi Anwar, tak ada penghargaan yang diterimanya. Pengorbanan dan perjuangannya yang dikibarkannya seorang Anwar seakan dilupakan. Anwar hilang di tengah gegap gempita eforia kemerdekaan. Ditambah kematian istri, seolah pembawa petaka. Anwar kehilangan semangat hidup. Sempat terjerumus ke dunia hitam. Anwar tobat. Tapi, hidup memang tak pernah berpihak pada Anwar. Semakin terlunta-lunta. Hingga jalan sebagai pengemispun jadi pilihan terakhirnya.
Tak ada tanda jasa, tak ada lencana penghormatan yang diterima Anwar dari Pemerintah. Bahkan gelar pahlawan veteranpun tak singgah pada Anwar. “Saya tak butuh apapun. Dulu, saya berjuang bukan untuk mendapatkan tanda jasa. Saya berjuang untuk negara. Tak perlu tanda jasa apalagi uang. Biarlah hidup begini, asal tak menganggu orang lain. Saya rela. Memang, angkatan saya yang ikut mengangkat senjata kebanyakan tenang dan menjalani masa tuanya dengan glamauran harta. Saya tak suka itu, bagi saya berjuang bukan untuk kemapanan masa tua, tapi untuk kemerdekaan bangsa. Biarlah orang memandang saya hina. Asal saya bisa tenang. Biarlah hanya makan sehari yang penting bangsa ini merdeka,”jawab Anwar tegar, segera berdiri, pergi minta segelas air kepada pedagang di depan Masjid AL-Mubarah, Sawahan.
Hari ini , Jumat (1/8) Penulis kembali berniat menemui Anwar. Namun, “Sang Letnan” menghilang dari Simpang Kandang. Dua onggok batu yang biasanya jadi sandaran Anwar kehilangan tuannya. Anwar raib. Padahal hari masih pagi, jarum jam baru berada di angka sembilan. Kemana Anwar?.
Kecewa dengan hilangnya Anwar, penulis mencoba menelusuri RTH (Ruang Terbuka Hijau) Imam Bonjol. Tempat biasanya Anwar tidur ketika penat datang mendera tubuh rentanya. Benar juga, tubuh renta Anwar tergolek diantara rumpun hijau Imam Bonjol. Namun ada yang lain dari penampilan Anwar hari ini. Bajunya tak hanya buram seperti kemarin, tapi lebih parah, kemeja biru yang dipakainya sudah tak berbuah. Mempertontonkan tulang-tulangnya yang kelihatan menonjol dibalut kulit keriput. Perutnya kempis. Sandalnyapun berlainan warna, hijau dan biru berbalut seutas tali plastik warna putih.
Mencoba mendekat, ternyata Anwar tertidur. Dadanya terlihat turun naik beraturan, membusung. Tulang dadanya semakin menonjol. Perlahan mata Anwar terbuka. Sesaat pandangannya kosong. “Tadi Saya pingsan nak, perut lapar. Padahal saya belum dapat apa-apa. Saya tak kuat berdiri. Untunglah ada seorang tukang becak yang kasihan pada saya. Membelikan saya sebungkus nasi telur. Tapi badan ini masih lemas,”erang Anwar lesuh.
Seperti sebelumnya, Walaupun tubuh rentanya masih lemah, Anwar tetap bercerita panjang lebar tentang kerasnya hidup yang dilewatinya selama 10 tahun hidup dijalanan. “Saya hanya kuat berdiri di simpang ini sampai pukul 11 siang. Tubuh ini sudah terlalu tua untuk lama-lama berdiri. Matahari terlalu garang. Berlainan benar waktu muda dulu, beratnya medan tempur selalu bisa saya taklukkan. Ah, sampai kapan tubuh ini bisa bertahan menunggu kepingan logam. Saya tak tahu,”Anwar menerawang.
Perlahan, rentetan-rentetan kehidupan Anwar mulai terkuak. Celoteh panjang Anwar menguak tabir tersebut. Rupanya, Anwar juga pernah menjadi awak kapal barang berbendera Jerman. Lulus di Sekolah Sembilan (Belakang Tangsi) tahun 1930. Anwar mulai berpetualang. Dari tahun 1932 sampai 1939 Anwar berlayar. Dalam kurun waktu itu tak sedikit keragaman budaya yang dilihat Pak Tua.
“Saya lulus sekolah Belakang Tangsi 1930. Selanjutnya berlayar tujuh tahun mengelilingi Asia sampai ke Australia. Kemudian pulang untuk berjuang. Saya tak mau bersenang-senang di atas Kapal, sementara Bangsa kita sedang berjuang merebut kemerdekaan. Naluri kebangsaanlah yang memanggil jiwa ini untuk ikut berjuang,”terang Anwar.
Anwar berpetualang, menyelusuri setiap pelosok Tanah Indonesia untuk berjuang mengusir Sang Meneer dari Indonesia. Awalnya hanya bermodalkan bambu runcing. Anwar akhirnya mendapatkan senjata rampasan dari tentara Belanda. Senjata ditangan, Anwar muda mulai merengsek. Memuntahkan pelurunya di barisan terdepan pejuang Indonesia.
“Pada awalnya tak ada senjata. Kami hanya bermodalkan bambu. Namun, dari tangan belanda yang berhasil kami bunuh, kami nisa memperoleh senjata. Dengan itulah kami menyerbu musuh. Mengambil topinya sebagai “cinderamata” dari medan tempur,”lanjut Anwar.
Hingga Akhirnya Indonesia merdeka. Belanda pergi dari tanah Bangsa. Tentu, kemerdekaan itu adalah hasil perjuangan pahlawan kita. Termasuk Si Anwar yang berjuang di dua episode perang tersebut. Anwar bertarung dengan gagah. Namun apa yang didapatkan sang Letnan?. Hingga detik ini Anwar masih berstatus pahlawan bangsa yang terabaikan. Pahlawan yang menyongsong hari tuanya dengan melakoni profesi sebagai pengemis. Indonesia merdeka, namun Anwar masih tetap “terjajah oleh hidup”!!.
Memang, dulu Anwar pernah diberi secarik kertas bertuliskan penganugrahan sebagai pejuang oleh Pemerintah. Namun karena jalan hidupnya yang sering berpindah tempat “surat wasiat” itu raib entah kemana. Padahal, surat itu adalah sebagai landasan Anwar untuk menerima haknya sebagai Veteran.
“Memang dulu saya diberi surat oleh Pemerintah. Kalau tak salahnya surat Bintang Grelya. Tapi surat itu sudah hilang. Kata orang surat itu adalah syarat untuk menerima tunjangan dari pemerintah. Tapi tak apalah, saya juga tak perlu itu. Kan sudah saya katakan kalau saya berjuang bukan untuk uang apalagi jabatan. Walaupun meminta-minta tapi saya tak menyusahkan orang lain. Saya sudah pernah hidup senang di atas kapal. Sekarang saatnya susah. Hidup seperti roda nak. Kadang di bawah. Sekali lagi, saya berjuang untuk Indonesia. Melihat Merah Putih berkibar tanpa gangguan itu adalah suatu kebanggaan tersendiri. Tak ada yang membuat saya bahagia kecuali melihat kibaran bendera Indonesia,”celoteh Anwar.
Letnan Kolonel Anwar, pahlawan bangsa kini tak ubah hanyalah tubuh tua dekil, tak ada yang peduli. Anwar semakin pupus di tengah sibuknya Kota Bengkuang. “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para Pahlawannya” kata Bung Karno. Namun itu hanyalah barisan kata, bukan kenyataan. Tak percaya? tanyakan itu semua pada Anwar. Pahlawan kita yang hinggga saat ini masih menengadahkan tangan untuk bertahan hidup.Memang Anwar tak minta apa-apa dari perjuangannya. Tapi, apakah kita tega melihat orang yang melepaskan kita dari jeratan penjajah harus terlunta. Mengemis untuk hidup. Tanah kemerdekaan yang kita pijak adalah hasil dari muntahan peluru Pahlawan mengusir penjajah. Namun kenapa kita menutup mata untuk itu. Apakah rasa penghormatan kepada para Pahlawan sudah pudar dihantam terjangan zaman. Sekali lagi, jangan lupakan Anwar yang telah gigih perjuangkan bangsa. Pemerintah? mungkin lupa juga akan nasib Sang Kapten.
Terhitung sejak bulan Januari 2008 lalu, sesuai dengan keputusan Presiden RI dalam kongres Veteran ke-7 tahun 2007. Sebanyak 5.134 veteran yang ada di Sumbar akan mendapat tunjangan dana kehormatan senilai Rp. 250.000. Penghargaan terhadapperjuangan yang mereka lakukan dalam membela Indonesia sekaligus sebagai figur yang turut andil dalam merebut kemerdekaan bangsa ini. Namun, bagaimana dengan Anwar?. Sang Letnan yang tak mendapat apapun dari perjuangannya?.
Pembaca tentu masih ingat dengan Anwar?. Letnan Satu yang kisahnya Penulis angkat menjadi tulisan bersambung dalam tiga edisi. Dia (Anwar) masih seperti dulu. Menengadahkan tangannya untuk mencari sesuap nasi. Di Simpang Potong, Anwar masih berkutat dengan riak kemelaratan. Kecuali hari Sabtu dan Minggu, Anwar pasti ada di Simpang Potong.
Di saat teman-teman seperjuangannya berbahagia dengan tunjangan-tunjangan yang didapatkan untuk mengisi hari tuanya. Anwar malah terabaikan. Bahkan Ketua LVRI Sumbar (Legium Veteran Republik Indonesia) Drs H Adrin Kahar Ph .D secara tegas mengungkapkan kalau Anwar belum tentu pejuang. Mungkin saja, dengan mengatas namakan pejuang, Anwar berniat untuk mengeruk keuntungan.
“Secara terang-terangan saya mengungkapkan kalau Anwar belum tentu Veteran. Kalau emang dia veteran, pasti dia punya nomor legium veteran atau surat-surat yang menyatakan dia pejuang. Contohnya, surat Bintang Gerilya. Tapi kenyataannya tak ada kan?. Kami (LVRI) selalu memperjuangkan hak-hak veteran. Tapi yang kami perjuangkan itu adalah mereka yang nyata ikut berjuang. Pembuktiannya, ya dengan surat keterangan,” tegas Sang Ketua.
Kata-kata LVRI seakan menjadi cambuk bagi Anwar. Anwar tenggelam. Keputus asaan seolah semakin kuat melekat. Sudah pasti, tak akan ada penghargaan ataupun tunjangan yang akan diterima Anwar. Minim lencana Veteran. Anwar semakin kuat menapak di atas trotoar panas. Memang, Anwar tak punya apa-apa untuk “diperagakan” kepada Pemerintah kalau dia adalah bekas pejuang kemerdekaan dua periode. Semua surat-surat Anwar hilang. Maklum, semenjak istrinya meninggal, Anwar tak punya rumah. Hidupnya hanya numpang.
“Biarlah orang bicara saya bukan pahlawan. Tapi sejarah tak dapat dipungkiri. Dari dulu saya bilang kalau saya tak butuh tunjangn gono-gini. Saya hanya ingin melihat kibaran merah putih tanpa gangguan serta hanya butuh sesuap nasi untuk makan. Itu sudah cukup,”ulas Anwar untuk kesekian kalinya pada Penulis.
Jam sudah menunjukkan angka 12 siang. Matahari semakin panas. Dengan langkah tertatih Anwar mulai meninggalkan dua onggok bata yang jadi topangan tubuhnya. Anwar melangkah menuju simpang Alang Laweh. Menaiki Angkot jurusan Mato Aia, Anwar menuju rumah tumpangannya.
Rasa keingin tahuanlah yang menyeret langkah penulis untuk mengikuti mobil angkot biru tumpangan Anwar. Terus menguntit, akhirnya angkot berhenti di depan rumah bercat putih. Bangunan sederhana yang terletak di Kelurahan Koto Baru, Kecamatan Lubuak Bagaluang, Padang. Rumah mungil yang bersebelahan dengan bengkel variasi mobil. Itulah kediaman Anwar sejak tahun 1975.
Sang empunya rumah, Shally (50) menyambut kedatangan Anwar dengan cemas. “Pak Gaek (panggilan Anwar) memang kurang enak badan, kami sudah melarangnya pergi kerja tapi wataknya sangat keras. sulit sekali melarangnya pergi,”terang Shally dengan wajah ragu.
Anwar tampak mengaso di atas sofa yang sudah lusuh. Mencoba menetralisir kembali nafasnya yang turun naik. Sementara Anwar mengaso, POSMETRO mencoba bercakap dengan Shally, orang yang berbaik hati menampung Anwar.
Wajah ramah Shallypun tampak mengerut, mencoba mengingat hari pertama Anwar datang ke rumah sederhananya. Sesat berpikir, akhirnya Shally mulai bercerita. Tarikan panjang nafasnya, memulai penuturan itu.
“Pak gaek datang awal 1975, bersam seorang temannya bernama Rustam (telah meninggal). Mereka adalah sahabat Ayah saya. Ayah bernama (Syamsudin). Ayahlah yang pertama memperkenalkan pak gaek dengan kami. Mereka adalah tiga sekawan yang tak dapat dipisahkan. Namun, akhirnya, ajal merenggut bapak dan Rustam. Tinggalah Pak Tua sendirian. Kami sudah menganggapnya bagian keluarga sendiri,”celoteh Shally melirik “Pak Gaek” yang menyeruput segelas air putih.
Rumah Shally memang sangat sederhana. Cat putihnya sudah terkelupas, dihuni empat keluarga. Ditambah Anwar, rumah itu kelihatan penuh sesak!. Tak hanya itu, ternyata, Label RTM (Rumah Tangga Miskin)pun tertempel di jendela rumah tersebut. Maklum, dengan empat keluarga, hanya suami Shally, Mak Tum (52) yang menjadi tulang punggung keluarga. Mak Tumpun hanyalah pekerja bengkel di Simpang Nipah. “Suami membuka bengkel kecil-kecilan. Kami termasuk penerima bantuan BLT dari Pemerintah. Kami juga hidup dengn sederhana. Tapi kedatangan pak gaek bukan beban bagi kami. Malah, kami bahagia. Pak Gaek sering mengajarkan bahasa Inggris dan jepang pada anak-anak,”tambah Shally.
Menurut Shally, di hari Tua-nya Pak Gaek tak pantas mengemis. “Pak Gaek adalah seorang pahlawan. Tapi dia seakan terabaikan. Saya pernah mengurus bantuan Veterannya, tapi tak ada hasil. Pak gaek luar biasa, dia bisa tiga bahasa. Bahkan dia juga bahasa jawa dan batak. Saya percaya dia pahlawan Walaupun hanya dengar cerita dari mendiang Ayah dan Pak Rustam. Tapi kenapa Pak Gaek terabaikan,”lemah Shlly menutur.
Ah, dunia memang terlalu kejam buat sang Letnan. Jeritan sepatah iklan TV Swasta menglir ditelinga Penulis. “Tanah yang Kita Pijak adalah bukti dari perjuangan Pahlawan yang membentuk kita menjadi manusia merdeka. Pahlawan yang bertamengkan rasa nasionalisme yang tinggilah semua ini tercipta. Hargai Pahlawan, sebagai peringatan tertinggi buat mereka. Kita bangsa besar, lahir dari cipratan darah sang revolusioner. Bangga ku dengan perjuanganmu”. Memang mungkin itu hanya sebaris iklan. Hanya perkataan belaka. Kalau itu kenyataan, mengapa hingga detik ini Anwar semakin murung?. Kapan secerca harapan menghmpiri tubuh ringkihnya, sementara pintu ajal semakin menganga menyambut kedatangan Sang Letnan.
Foto asli Bpk Anwar |
Tetapi yang terjadi beberapa waktu lalu, foto ini sempat menjadi bahan olok-olokan di forum sosmed. Saya sebenarnya sangat tidak setuju dengan prilaku konyol itu. Miris memang melihat seseorang yang di masa lalu sangat berjasa bagi bumi pertiwi tercinta … namun dimasa tuanya beliau harus menjalani hari-hari yang lebih sulit daripada masa-masa sebelum kemerdekaan ditambah lagi gambar mereka di jadikan bahan guyonan di jejaring sosial.. Bahkan dulu beliau sempat di tawari pangkat yang lebih tinggi oleh pemerintah belanda .. tapi ternyata beliau menolak karena rasa cintanya akan tanah air .. Seharusnya kita sebagai generasi muda tau diri dalam bertindak, apakah di jaman modern sekarang ini rasa hormat kepada orang tua semakin hilang??
Foto setelah di edit |
" Bangsa yang besar adalah bangsa yg menghormati dan menghargai pahlawanya." - Soekarno
Comments
Post a Comment