manado.tribunnews.com |
Amurang berasal dari kata Amoer yang merupakan nama sebuah sungai di daerah Manchuria. Sungai itu ramai dilalui bangsa Portugis dan Spanyol saat berdagang ke Tiongkok dan menjadi jalur penting bagi perdagangan. Ketika Portugis menginjakkan kakinya di Sulawesi Utara pada sekitar tahun 1500-an, mereka melihat kekayaan alam di daerah Selatan ini berupa rempah-rempah. Dan jadilah tempat rempah-rempah itu ramai dengan kegiatan perdagangan berbagai bangsa.
Oleh bangsa Portugis, mereka menamakan daerah itu dengan sebutan Amoer. Lalu kedatangan bangsa Belanda menyebut kata Amoer dengan dialek mereka, Amoerlang dan hingga kini menjadi Amurang.
Ramainya perdagangan waktu itu membuat banyak bangsa yang mampir ke Amurang. Sehingga kini masih banyak dijumpai penduduk Amurang yang merupakan keturunan balsteran Portugis, Belanda, Spanyol, Inggris, Jerman bahkan Yahudi. Orang Belanda menyebutnya sebagai keturunan Boerger atau sekarang dikenal sebagai orang Borgo.
Benteng Pertugis di Amurang bisa dijumpai di Kelurahan Uwuran Satu, Kecamatan Amurang. Letaknya mudah sekali dijangkau, karena tepat berada di samping Pasar Amurang. Diperlukan waktu sekitar satu jam dengan kendaraan mobil dari Manado untuk mencapai lokasi benteng ini.
Saat Kompas.com berkunjung ke benteng itu, terlihat sebuah bangunan kokoh dari batu yang berbentuk huruf D setengah bulatan, setinggi kurang lebih tiga meter. Bangunan ini hanyalah sisa dari bangunan benteng secara keseluruhan yang dulunya meliputi kawasan seluas tiga hektar. Kini luas area benteng itu sendiri tersisa 25 x 50 meter yang sudah dipagari oleh pemerintah daerah Minahasa Selatan.
Portugis membangun benteng ini pada waktu itu untuk melindungi aktivitas perdagangan mereka di Amurang dari ancaman perompak. Pada tahun 1943 saat Perang Dunia II, benteng ini diserang habis-habisan oleh tentara sekutu, sehingga menyisahkan apa yang bisa dilihat sekarang.
Benteng ini semula dibangun di tepi pantai hanya untuk menampung para serdadu dan rohaniawan Portugis. Tetapi karena letaknya yang strategis, benteng ini kemudian menjadi pusat penaklukan Portugis ke wilayah Minahasa lainnya.
Ketika masih utuh, benteng ini dilengkapi dengan senjata meriam yang menghadap langsung ke arah Teluk Amurang. Terdapat pula beberapa bangunan pelengkapnya, seperti barak, gudang, fasilitas militer bahkan sebuah kapel (gereja kecil). Pada tahun 1700-an, bangsa Belanda menguasai benteng ini dan kehadiran mereka banyak mempengaruhi sejarah orang Minahasa.
Benteng Portugis di Amurang ini bisa dijadikan sebagai jejak sejarah perjalanan panjang orang Minahasa. Beberapa jejak sejarah itu, selain terlihat dari kehadiran Benteng, juga bisa ditemui dari berbagai benda peninggalan bangsa Eropa yang sering ditemui warga ketika melakukan penggalian.
Sayang beberapa meriam yang dulunya masih ada di benteng Portugis ini, kini sudah raib. Menurut keterangan penduduk yang berada di sekitar benteng, dulu ada enam meriam. Tetapi meriam-meriam itu kemudian dipindahkan oleh penguasa pada waktu itu, karena belum adanya undang-undang yang mengatur mengenai benda-benda purbakala dan sejarah. [sumber http://travel.kompas.com/ ]
Comments
Post a Comment