https://ranihasriani.wordpress.com |
Tebing batu cadas berketinggian 60 meter itu terletak diujung Desa Sawapudo, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Jaraknya sekitar 30 kilometer atau sekitar 1,5 jam perjalanan mini bus dari Kota Kendari.
Jika perjalanan dari Kota Kendari, akan melewati perkampungan suku Bajo di Kecamatan Toronipa dengan hamparan pemandangan laut berlatar belakang pulau Bokori, kemudian melintasi Desa Toronipa, sebelum akhirnya perjalanan sampai di desa itu.
Saat memasuki pintu gerbang Desa Sawapudo, keramahan penduduk sebagai ciri khas masyarakat pesisir akan dijumpai. Aktivitas warga disana pun berjalan alamiah. Para lelaki yang berprofesi sebagai nelayanan sibuk menggayuh perahu menyusuri perairan laut, sedang para wanita sibuk merajut atap dari daun sagu.
Dinding tebing itu tepat berada di ujung Desa Sawapudo. Letaknya menghadap matahari terbit, dihiasi tekstur alamiah membentuk relief abstrak hasil kikisan air. Sungguh spektakuler ! Di relief-relief itulah para pemanjat bergelantung dan merayap saat melakukan panjat tebing.
SEKILAS SEJARAH
Aktivitas panjat tebing atau dalam istilah asingnya Rock Cimbing, sudah dikenal masyarakat sejak lama bahkan oleh masyarakat tradisional. Mereka melakukan pemanjatan guna mencari sumber kehidupan ataupun perlindungan, khususnya di daerah pantai dan kawasan karst (bebatuan) untuk mencari sarang burung atau sumber mata air. Bedanya dengan saat ini, mereka tidak memakai sistem dan prosedur yang baku seperti dalam olahraga panjat tebing, sehingga faktor keamanan dan tingkat resiko yang dihadapi sangatlah tinggi.
Panjat tebing pertama kali dikenal di kawasan benua Eropa tepatnya di kawasan pegunungan Alpen sebelum perang Dunia I. Pada awal tahun 1910, dinegara Austria mulai diperkenalkan peralatan-peralatan yang digunakan untuk menunjang kegiatan panjat tebing seperti carabiner (cincin kait) dan piton (paku tebing) yang pada saat itu masih terbuat dari besi baja. Dan berawal dari situlah, para pendaki dari Austria dan Jerman mulai mengembangkan peralatan dan teknik olah raga ini. Seiring waktu yang terus berjalan, peralatan olah raga ini banyak mengalami inovasi terutama pada bahan pembuatannya, uji kekuatan gaya tariknya, kepraktisan penggunaan alat serta prosedur keamanan alat yang telah distandarkan.
Di Indonesia olahraga panjat tebing sendiri telah terbentuk sejak tahun 1988 yang memiliki organisasi yang pada saat itu bernama FPGTI (Federasi Panjat Gunung dan Panjat Tebing Indonesia) yang kemudian berganti nama dengan FPTI (Federasi Panjat Tebing Indonesia) sampai sekarang ini.
Panjat tebing dikenal sebagai salah satu dari sekian banyak olah raga alam bebas (outdoor activity) dan merupakan salah satu bagian dari mendaki gunung yang tidak bisa dilakukan dengan cara berjalan kaki, melainkan harus menggunakan peralatan dan teknik-teknik tertentu untuk bisa melewatinya. Pada umumnya panjat tebing dilakukan pada daerah yang berkontur batuan tebing dengan sudut kemiringan mencapai lebih dari 45 derajat dan mempunyai tingkat kesulitan tertentu. Pada dasarnya olah raga panjat tebing adalah suatu olah raga yang mengutamakan kelenturan, kekuatan/daya tahan tubuh, kecerdikan, kerja sama team serta keterampilan dan pengalaman setiap individu untuk menyiasati tebing itu sendiri.
Pada awalnya panjat tebing merupakan olah raga yang bersifat petualangan murni dan sedikit sekali memiliki peraturan yang jelas. Seiring dengan perkembangan zaman, saat ini sudah ditetapkan bentuk dan standart baku dalam aktivitas panjat tebing yang diikuti oleh para penggiatnya.
TEBING SAWAPUDO
Di Kota Kendari, olahraga panjat tebing sendiri mulai berkembang sejak tahun 1996. Basis terkuat pengembangan olahraga beresiko tinggi ini dimulai dari kampus. Saat itu, panjat tebing digeluti oleh kalangan mahasiswa yang tergabung dalam Mahasiswa Pencinta Alam (MAPALA), baik di Univesitas Halu Oleo (UHO) maupun Universitas Sulawesi Tenggara (Unsultra). Seiring perjalanan waktu, olahraga ini pun terus berkembang bahkan penggiatnya kian menjamur dengan hadirnya Kelompok Pencinta Alam (KPA) yang bebasis di luar kampus.
Tebing Sawapudo sendiri pertama kali ditemukan sekitar tahun 1996 oleh para aktivis panjat tebing MAPALA Unsultra. Berawal dari explorasi kawasan Karts di Kecamatan Soropia, dinding tebing itu ditemukan masih dalam balutan semak belukar. Sejak saat itu, Tebing Sawapudo pun kerap menjadi ruang ekpresi bagi para climber hingga saat ini. Hampir setiap akhir pekan, daerah itu selalu ramai dikunjungi oleh para penggiat alam bebas, baik dari Kota Kedari maupun dari luar daerah, termasuk wisatawan asing.
Selain dinding tebingnya yang eksotis, disekitar tebing juga terdapat beberapa gua yang memiliki pintu masuk cukup menantang, kombinasi antara horizontal dan vertical. Melihat perpaduan antara panjat tebing dan penelusuran gua (Caving) ini, mendorong para penggiat alam bebas bersama masyarakat setempat untuk menobatkan kawasan ini sebagai lokasi Wisata Alam.
PROBLEM DAN TINGKAT KESULITAN
Melihat medannya cenderung slab dengan kemiringan 70 derajat-80 derajat ditambah cacat batuan yang berfungsi sebagai pijakan, boleh dibilang pemanjatan tebing ini tidak terlalu berat. Menurut Aphoel, seorang climber dari MAPALA Tropis-UHO yang pernah melakukan pemanjatan tebing ini, tingkat kesulitannya tergolong sedang. “Sebenarnya, medannya tidak terlalu sulit dan yang paling diutamakan di sana adalah kejelian dan skil memasang pengaman serta pemilihan jalur yang tepat,” ujarnya.
Terhitung hanya ada dua jalur pemanjatan yang tembus hingga ke puncak tebing.Satu jalur nyaris tidak tergolong pada rock climbing karena hanya mengandalkan gerakan berpindah dari point ke point. Pemanjatan dengan sistem ini, paling cocok diterapkan pada jalur big wall sekelas Sawapudo. Ditinjau dari segi konservasinya, sistem pemanjatan ini lebih ramah lingkungan karena berusaha tidak meninggalkan pengaman yang dapat mengotori tebing.
Kondisi jalurnya yang terputus tak tersambung utuh dari dasar hingga puncak tebing, menjadi teka-teki yang harus dipecahkan bagi setiap climber, dengan manajemen pemanjatan yang baik. Melihat adanya beberapa rintisan jalur pemanjatan yang terputus di bagian bawah tebing, sepertinya tak semua pemanjatan berhasil dilakukan. Kegagalan yang terjadi, kemungkinan besar akibat kesalahan memilih jalur di rekahan. Pemanjatan tak mungkin lagi diteruskan, karena tak ada tempat untuk memasang pengaman.
Kegagalan lainnya bisa disebabkan ketidak sesuaian peralatan yang dimiliki dengan model cacat batuan. Rekahan tempat pemasangan pengaman di tebing Sawapudo cenderung khas. Di beberapa jalur, hanya bisa dipasangi beberapa jenis pengaman tertentu, sedangkan piton atau paku tebing yang umum dipakai dibanyak tebing, nyaris tak digunakan sama sekali.
KISAH TERSENDIRI
Terlepas dari tinggi atau rendahnya tingkat kesulitan tebing Sawapudo, pemanjatan di sana sungguh menawarkan kisah tersendiri yang mungkin tidak akan dijumpai di tebing lain. Saat berada di ketinggian, saat digoda buaian angin, atau disaat otot tak kunjung diam gemetar melawan rasa gamang, gerombolan burung bangau yang bermain diantara rimbunan hutan bakau, terbang tak jauh dari tempat kita menggantung, seolah ikut memberi spirit. Tentu, kehadiran mereka menjadi teman yang sanggup mengusir rasa sepi di ketinggian dan memperkuat rasa kedekatan dengan alam. Sementara puluhan spesies kupu-kupu dengan corak warna menarik, beterbangan di sekitar tebing.
Selain nuansa itu, keramahan penduduk juga menjadi sahabat yang tak ternilai. Bagi yang menyukai santapan kuliner sea food, ditempat ini sangat mudah untuk menyantap ikan bakar, cumi bakar ataupun lobster. Hmm, apalagi jika ada sambal pedasnya. Di daerah itu, ada beberapa tempat yang menawarkan suasana khas, salah satunya menyantap kuliner di sore hari di tepi pantai sambil memandangi keindahan sunset.
POTENSI TERANCAM
Boleh dibilang, potensi kawasan tebing Sawapudo ini belum diberdayakan dengan baik, bahkan kini cenderung terancam. Padahal jika dikelola dengan konsep pengembangan wisata yang baik, bukan mustahil tebing ini bisa dijadikan kawasan ekoturisme dengan mengemas Rock Climbing dan Hill Walking.
Tebing Uluwatu di Bali, mungkin bisa dijadikan sebagai pembanding. Jika tebing di Uluwatu didukung keindahan laut, Tebing Sawapudo tidak hanya didukung keindahan laut tetapi keindahan hutan bakau (mangorove) dan keanekaragaman hayatinya. Kawasan ini juga amat memungkinkan dijadikan konservasi yang berguna bagi keseimbangan alam dan ilmu pengetahuan. Sayang, potensi yang belum terdata itu, kini nyaris habis.
Aktivitas penambangan batuan untuk memenuhi kebutuhan perumahan warga di perkotaan menjadi ancaman serius kawasan itu. Bagaimanapun tebing Sawapudo merupakan salah satu aset Kabupaten Konawe. Artinya, tebing dan kawasan sekitarnya seharusnya tetap dijaga, baik oleh masyarakat setempat maupun pemerintah daerah. Masih ada peluang untuk mengemas kawasan ini menjadi daerah bernilai tinggi dan tetap lestari. Dengan demikian, kita masih memberi peluang kepada generasi mendatang untuk turut merasakan keringat dan getaran nyata saat merayapi dinding Tebing Sawapudo…Salam Satu Jiwa. (beritakendari.com)
Comments
Post a Comment