Sekian jam kami terus berjalan, jalur makadam dan berbatu kami lalui, medan semakin menanjak landai, sesekali kami beristirahat dan berhenti untuk mengatur nafas yang tersengal berat. Menarik nafas dalam2 mengisi ruang kosong paru2 dengan udara oksigen murni dan menghembuskan pelahan, setiap beberapa langkah saya lakukan sambil terus berjalan.
Menjelang siang hari nampak desa Ngadas diatas sana dengan beberapa rumah penduduk di atas bukit dan dipinggir jalan utama.
Kami berhenti dan beristirahat ditepi jalan gerbang masuk desa yang sepi dan lengang saat itu, tak satupun menemukan penduduk yang lewat mungkin pada ke ladang. Didepan mata kami dan nun jauh disana desa Ngadas dan hamparan ladang bawang, kentang tertata rapi di lereng2 bukit dan lembah subur seperti lukisan alam.
Nampak dari ketinggian tempat kami berdiri beberapa petani nun jauh di bawah sana dan di lereng bukit sedang sibuk menyemai tanaman ladang mereka dengan sangat tekun dan penuh semangat.
Sungguh menakjubkan...' tak pernah kutemui sebelumnya pemandangan seperti ini, apalagi dikota.
Sesekali kami bertemu dan berpapasan dengan penduduk Ngadas yang lewat dan menyapa kami dengan sangat ramah sekali "ajenge minggah ke Semeru to nak..." karena usia kami sangat muda waktu itu dan kamipun menjawab dengan sangat hormat sambil menganggukan kepala dengan merendahkan tubuh kedepan. Kami menjawab " inggeh pak / bu / nek ..." hati2 yaa... kalau naik Semeru....' mugo selamat.." kata beliau2 itu mengingatkan dan mendoakan kami bertiga....' "injeh maturnuwun jawab kami serempak. Dan kami diajak mampir kerumahnya untuk sekedar istirahat minum kopi, tapi dengan halus dan lembut kami menolak kebaikan mereka, karena kami harus melanjutkan perjalanan kembali.
Matahari dititik nol diatas kepala. Siang itu kami meninggalkan desa Ngadas yang mayoritas penduduknya dari suku tengger dan beragama Hindu karena tak satupun kami melihat bangunan Musholla/Masjid, yang ada hanya bangunan tempat ibadah mereka dipinggir jalan desa.
Kami menempuh perjalanan kembali melewati jalur makadam yang menanjak dan berliku.
Jemplang kami lalui bantengan kami lewati, sejenak kami istirahat dan berhenti melihat pemandangan alam yang sungguh menakjubkan, hamparan rumput dan padang pasir membentang luas nun jauh dibawah sana nampak jalur setapak memanjang dan berliku, tebing kokoh vertikal membentang dan menjulang tinggi dibawahnya luweng sewu pasir hisap bagi yang tidak tahu, punggungan bukit mengalur membentuk contur cerukan dalam dan curam dibaliknya gunung Bromo bertengger.
Hembusan angin lembut menoreh sepi menyibak dedaunan dan ranting pohon di bukit bantengan jalur lintasan, turun kebawah menghempas rumput dan padang gersang udara panas dan dingin dilembah luas pasir lembut dikaki gunung Bromo.
------> Bersambung ke Episode III
Menjelang siang hari nampak desa Ngadas diatas sana dengan beberapa rumah penduduk di atas bukit dan dipinggir jalan utama.
Kami berhenti dan beristirahat ditepi jalan gerbang masuk desa yang sepi dan lengang saat itu, tak satupun menemukan penduduk yang lewat mungkin pada ke ladang. Didepan mata kami dan nun jauh disana desa Ngadas dan hamparan ladang bawang, kentang tertata rapi di lereng2 bukit dan lembah subur seperti lukisan alam.
Nampak dari ketinggian tempat kami berdiri beberapa petani nun jauh di bawah sana dan di lereng bukit sedang sibuk menyemai tanaman ladang mereka dengan sangat tekun dan penuh semangat.
Sungguh menakjubkan...' tak pernah kutemui sebelumnya pemandangan seperti ini, apalagi dikota.
Sesekali kami bertemu dan berpapasan dengan penduduk Ngadas yang lewat dan menyapa kami dengan sangat ramah sekali "ajenge minggah ke Semeru to nak..." karena usia kami sangat muda waktu itu dan kamipun menjawab dengan sangat hormat sambil menganggukan kepala dengan merendahkan tubuh kedepan. Kami menjawab " inggeh pak / bu / nek ..." hati2 yaa... kalau naik Semeru....' mugo selamat.." kata beliau2 itu mengingatkan dan mendoakan kami bertiga....' "injeh maturnuwun jawab kami serempak. Dan kami diajak mampir kerumahnya untuk sekedar istirahat minum kopi, tapi dengan halus dan lembut kami menolak kebaikan mereka, karena kami harus melanjutkan perjalanan kembali.
Matahari dititik nol diatas kepala. Siang itu kami meninggalkan desa Ngadas yang mayoritas penduduknya dari suku tengger dan beragama Hindu karena tak satupun kami melihat bangunan Musholla/Masjid, yang ada hanya bangunan tempat ibadah mereka dipinggir jalan desa.
Kami menempuh perjalanan kembali melewati jalur makadam yang menanjak dan berliku.
Jemplang kami lalui bantengan kami lewati, sejenak kami istirahat dan berhenti melihat pemandangan alam yang sungguh menakjubkan, hamparan rumput dan padang pasir membentang luas nun jauh dibawah sana nampak jalur setapak memanjang dan berliku, tebing kokoh vertikal membentang dan menjulang tinggi dibawahnya luweng sewu pasir hisap bagi yang tidak tahu, punggungan bukit mengalur membentuk contur cerukan dalam dan curam dibaliknya gunung Bromo bertengger.
Hembusan angin lembut menoreh sepi menyibak dedaunan dan ranting pohon di bukit bantengan jalur lintasan, turun kebawah menghempas rumput dan padang gersang udara panas dan dingin dilembah luas pasir lembut dikaki gunung Bromo.
------> Bersambung ke Episode III
Comments
Post a Comment