Sepi sekali suasana desa Ranupani yang diselimuti kabut yang datangnya dari lereng2 bukit mengurung desa, hingga datangnya malam semakin sunyi.
Dingin udara malam serasa menusuk tulang karena baru pertama kali ini kami datang di desa Ranupani yang mempunyai ketinggian 2100 mdpl.
Kami bertiga masih mengobrol sambil nyeruput/minum kopi & susu yang sudah dingin.
Tak terasa malam semakin larut kami terlelap dalam tidur dikamar depan karena capai dan mengantuk sehabis menempuh perjalanan panjang dan sangat melelahkan, seharian berjalan dari desa Gubuk Klakah - Ranupani.
Pagi sebelum matahari terbit dari timur, kami sudah terbangun rasanya tidak bisa tidur nyenyak semalam karena dinginnya udara pagi dini hari terasa makin menusuk tulang.
Memasak air itulah yang pertama kami lakukan untuk membuat kopi dan teh sekedar mengurangi rasa dingin, dengan peralatan kompor lipat & bahan bakar parafin yang kami bawa pada waktu itu.
Setelah sarapan pagi dan berbenah packing kembali, pagi itu sekitar jam tujuh mulailah perjalanan kami lanjutkan kembali meninggalkan Ranupani. Kami tempuh melewati jalur satu2nya Gunung Ayag-ayag, jalur yang nyaris tek terbaca karena saking lebatnya semak belukar dan rimbunnya pepohonan.
Menjelang tengah hari di bulan Juni 1976 dari ketinggian diatas bukit Pangonantjah, kami melihat hamparan lembah dengan rumput hijau kekuningan dan diujung sana nampak sebagian danau dengan airnya yang tenang dan jernih kemilau karena pantulan sinar matahari.
Dari ketinggian bukit itu sesaat kami bertiga terpana memandang keberadaan danau ditengah hutan yang sunyi dikelilingi bukit2 dan punggungan membentang ditengah hutan Semeru.
Kami menuruni bukit Pangonantjah, sesekali merosot karena tanahnya licin dan lembab lalu melintasi dataran rumput sabana yang menguning, sampailah kami di Ranu Kumbolo.
Siang itu sangat sunyi, terasa damai dihati kami masing2 menatap danau dengan airnya yang sejuk, tenang dan jernih. Sekelompok habitat burung Belibis satu2nya penghuni nampak sedang berenang berjejer ketengah danau, kadang kepinggir dan kembali lagi ketengah danau mengikuti induknya kemana ia berenang pergi.
Seonggok batu besar dipinggir danau, yang waktu itu belum kuketahui menjadi tumpuan aku duduk dan bertengger diatasnya untuk menikmati pemandangan alam Ranu Kumbolo yang sepi, sunyi dan asri.
Lima bulan kemudian aku datang kembali untuk mendaki puncak Mahameru yang kedua kali, dan tanpa sengaja batu yang selalu kududuki teronggok dipinggir danau untuk menikmati pemandangan alam Ranu kumbolo, setelah kubersihkan dan kukorek tanah/lumut yang mengering melekat menutupi batu, ternyata sebuah Prasasti bertuliskan huruf Palawa jawi kuno.
Antara senang, heran dan takjub melihat batu Prasasti tersebut, tak kusangka batu yang selalu kududuki itu sebuah Prasasti kuno ratusan tahun lalu ternyata sudah ada orang yang datang ke Ranu Kumbolo dan mengukir batu Prasasti itu sebagai tetenger danau dan hutan Semeru.
Itulah mungkin jalur Ayag-ayag merupakan jalur purba yang dilewati orang" dahulu untuk naik ke Mahameru.
(Data pemetaan jalur Ayag-ayag sampai ke puncak Mahameru tertera Batavia Th 1882 revised 1945 Edition I.AMS US.Army Map Servise Compiled in Th 1963 From Java & Madura 1:50.000 Sheets 54/XLIII-B Planimetric - Topografi)
Jadi sebelum pemetaan jalur tersebut jauh sebelumnya jalur itu ternyata sudah ada dan dilewati orang" kuno dahulu dan merupakan jalur purba.
----------> Episode V
Comments
Post a Comment